Hegemoni dalam Film “Valley of The Wolves Iraq” (Analisis Kajian Teori Hegemoni Antonio Gramsci)

Hegemoni dalam Film “Valley of The Wolves Iraq” (Analisis Kajian Teori Hegemoni Antonio Gramsci)

Oleh: Firmanda Taufiq

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sudah diketahui bersama, bahwa kajian sastra itu sangat luas, tidak selalu menganalisa dan mengkaji pada kajian yang bersifat tertulis saja, baik itu novel, cerpen, ataupun puisi. Tetapi, film juga merupakan salah satu objek kajian sastra yang menarik untuk dikaji dan dianalisa lebih dalam, untuk mengetahui bagaimana suatu keadaan atau peristiwa dan kenyataan yang digambarkan secara visual melalui media film. Selain itu, film juga merepresentasikan bagaimana sastra dapat masuk ke dalam dimensi yang nyata berdasarkan realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat dan fakta kehidupan.

Hingga sastra juga menyentuh nilai-nilai kemanusiaan yang termanifestasikan dalam sendi-sendi kehidupan dan ilnilah yang menjadi poin penting dalam mengkaji perihal sastra, Bahkan, sastra juga membahas mengenai geopolitik dan sosial yang terjadi di kehidupan masyarakat. Melihat fenomena tersebut, maka penelliti ingin menganalisa lebih komprehensif, terutama dalam hal kajian sosiologi sastra, yakni hegemoni dan kaitannya dengan konflik sosial, dan sudah lazim diketahui serta banyak sekali konflik yang terjadi di kawasan Timur Tengah, terutama di daerah Arab. Karena berdasarkan sisi historisnya, negara-negara di wilayah Timur Tengah sering mengalami konflik dan hal inilah yang menjadi titik perhatian dunia dalam kaitannya permasalahan konflik di Timur Tengah. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa kawasan Timur Tengah menjadi rebutan negara-negara besar, karena mempunyai arti strategi yang penting.

Hal ini adalah berkat letaknya pada titik pertemuan Eropa, Asia dan Afrika, jalur-jaur komunikasi yang menghubungkan ketiga benua itu, kekayaan minyak dan petro dollarnya, dan ketergantungan negara-negara industri Barat dan Jepang, serta kekayaan minyaknya. Khususnya yang terakhir ini sangat penting dalam pertarungan global Timur-Barat yang terjadi sekarang ini pada abad modern.

Sedangkan, bila membahas konflik sendiri menurut J. Frost & W. Wilmot (1978) menyebutkan bahwa, “Conflict is the interaction of interdependent people who perceive incompatible goals and interference from each other in achieving those goals.” Sedangkan Suharto (2006: 2) mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu maupun kelompok) yang memiliki atau memiliki sasaran yang tidak sejalan.
Menurut Wirawan, salah satu penyebab konflik adalah perlakuan tidak manusiawi, melanggar hak asasi manusia dan melanggar hukum. Hal ini juga diperkuat dengan pendapat Suharto, bahwa salah satu penyebab konflik adalah masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, politik dan ekonomi. Sebenarnya jika dilihat secara garis besar, penyebab konflik-konflik di Timur Tengah adalah masalah sumber daya alam dan human resources (sumber daya manusia).

Konflik yang terjadi di Timur Tengah, yang dimaksud dalam pembahasan kali ini yakni tentang kondisi Irak di bawah kekuasaan Amerika Serikat, hingga terjadinya konflik antara Irak dan Amerika Serikat, dimana ada misi terselubung Amerika Serikat didalamnya. Ini dapat dilihat dan dikaji secara mendalam terkait dengan konflik sosial dan bagaimana bentuk-bentuk hegemoni yang tergambar dalam film Valley of The Wolves Iraq, dan sangatlah jelas terlihat adanya proses konflik dan hegemoni di dalamnya, serta hubungan teori sosiologi sastra (hegemoni) dengan film atau kenyataan yang digambarkan oleh pengarang atau dalam film tersebut. Film ini sangat jelas memberikan gambaran atau representasi tentang bagaimana kondisi Irak waktu terjadinya invasi Amerika Serikat.

Konflik yang terjadi dalam film tersebut dimulai adanya proses invasi Amerika Serikat ke wilayah negara Irak, yang kemudian terjadi ketimpangan antara pihak Amerika Serikat yang melakukan intervensi dan menyiksa pihak tawanan Irak yang berada di penjara Abu al-Gharib serta tentang bentuk-bentuk hegemoni yang tergambar dalam film Valley of The Wolves Iraq. Kondisi tersebut menjadi kajian yang sangat menarik untuk dianalisa secara intensif, agar diadapat suatu data yang jelas dan beberapa kesimpulan tentang bagaimana suatu karya sastra (film) dianalisa dengan analisis perspektif sosiologi sastra, yakni teori hegemoni.

Oleh karena itu, peneliti ingin mengkaji dan membahas mengenai pembahasan tentang hegemoni yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci yang disajikan dan direpresentasikan dalam film tersebut, sehingga nantinya dapat diketahui secara jelas tentang beberapa bentuk hegemoni yang digunakan dalam film tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terutama bagi perkembangan sastra Arab, dalam kaitannya penelitian yang berkaitan dengan sosiologi sastra dan studi gepolitik di kawasan Timur Tengah. Maka penelitian ini mengambil judul “Hegemoni dalam Film Valley of The Wolves Iraq: Analisis Kajian Teori Hegemoni Antonio Gramsci.”

1.2 Rumusan Masalah
Masalah dalam suatu penelitian adalah merupakan hal yang sangat pokok, karena dengan adanya masalah, maka suatu penelitian dapat dilakukan. Dari pembacaan secara komprehensif dan latar belakang masalah diatas, maka peneliti mengajukan beberapa masalah penelitian. Sehingga penelitian disini berfungsi untuk menjawab dan memecahkan masalah atau mengambil solusi yang peneliti ajukan. Adapun masalah penelitian yang peneliti ajukan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana keadaan Irak Dibawah Kekuasaan Amerika Serikat dalam film Valley of The Wolves Iraq?
2. Bagaimana bentuk-bentuk hegemoni dalam film Valley of The Wolves Iraq?

1.3 Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan teoritis dan praktis. Adapun tujuan teoritis dari penelitian ini adalah:
1. Aplikasi teoritis terhadap teori Teori Hegemoni Antonio Gramsci.
2. Mengungkapkan dan mendeskripsikan penyebab dari masalah sosial, yaitu kondisi Irak di bawah kekuasaan Amerika Serikat yang terjadi dalam film Valley of The Wolves Iraq
3. Mengungkapkan bagaimana bentuk-bentuk hegemoni dalam film Valley of The Wolves Iraq.
4. Memberikan sumbangsih pemikiran bagi perkembangan keilmuan di bidang sosial politik di Timur Tengah, terutama yang berkaitan dengan teori konflik sosial.
Adapun tujuan praktis dari penelitian ini adalah:
1. Mengenalkan kepada pembaca tentang teori Hegemoni Antonio Gramsci. Hasil penelitian ini diharapkan diambil manfaat oleh pembaca dan pemerhati konflik di Timur Tengah untuk mengetahui dan memahami tentang bagaimana penyebab konflik dan bemtuk-bentuk hegemoni yang terjadi dalam film Valley of The Wolves Iraq.
2. Memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai konflik-konflik yang terjadi di Timur Tengah, terutama konflik yang terjadi dalam film Valley of The Wolves Iraq.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini yakni mengkaji secara komprehensif film Valley of The Wolves Iraq, dengan adanya penelitian ini pembaca dan penelitia yang ingin mengkaji tentag studi sosiologi satra dan geopolitik Timur Tengah akan tahu bagaimana penyebab terjadinya konflik dan bentuk-bentuk hegemoni yang digambarkan dalam film tersebut. Selanjutnya, penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai bahan referensi dan acuan terkait penelitian tentang konflik dan hegemoni, sehingga akan dapat digali dan diperdalam lagi penelitian yang berkaitan dengan materi atau permasalahan seperti ini.

1.5 Batasan Penelitian
Suatu penelitian merupakan kajian yang membahas suatu permasalahan tertentu dengan meggunakan metode, analisa dan teknik tertentu, sehingga permasalahan tersebut dapat dikaji secara mendalam dan komprehensif, sehingga nantinya didapat hasil penelitian yang valid dan sistematis.

Oleh karena itu dalam suatu penelitian, perlu adanya batasan penelitian, karena tidak mungkin suatu penelitian akan membahas semua ranah kajian, tentunya akan mengkaji suatu permasalahan tertentu dan mempunyai batasan-batasan dalam menganalisa suatu objek kajian.

Untuk itu dalam penelitian kali ini, peneliti akan membahas mengenai hegemoni yang terdapat dalam film Valley of The Wolves Iraq, konflik-konflik yeng terjadi dalam film tersebut dan kajian mengenai bentuk-bentuk hegemoni dan konflik sosial yang digambarkan dalam film ini. Sesungguhnya peneliti ingin membahas secara menyeluruh terkait proses yang melingkupi dalam film tersebut, tapi karena keterbatasan waktu, kepentingan tertentu, dan keterbatasan referensi, maka peneliti hanya akan membahas sesuai judul penelitian yang peneliti ajukan dalam penelitian ini.

1.6 Kajian Riset Sebelumnya
Membahas tentang penelitian tentang sosiologi sastra dan konflik sosial sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, terutama penelitian tentang sosiologi sastra yang mengkaji suatu karya sastra. Dalam penelusuran peneliti, peneliti menemukan beberapa penelitian yang terkait dengan kajian sosiologi sastra.

Penelusuran peneliti menemukan penelitian yang dilakukan oleh Titik Rahmawati dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Sosiologi Sastra dalam Cerpen Zuqoq Midaq pada Jurusan Sastra Arab Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang tahun 2005. Dalam penelitiannya, peneliti lebih banyak pada sisi sosiologi yang melingkupi karya sastra tersebut. Peneliti juga menemukan penelitian lain yang mengkaji karya sastra berupa kumpulan puisi atau Diwan Imam Syafi’i yang dikaji berdasar teori sosiologi sastra. Penelitian tersebut dilakukan oleh Muhammad Muhajir pada tahun 2004. Temuan peneliti lain adalah penelitian dari skripsi Khafid Rozaq yang mengkaji cerpen Bidayah wa Nihayah, dan cerpen tersebut dikaji dengan teori sosiologi sastra. Sedangkan ada juga yang mengkaji dalam cerpen Ukhruj Minha ya Mal’un oleh Ayin Susanti pada tahun 2009.
Sedangkan, objek kajian yang peneliti teliti pada penelitian ini pernah diteliti, namun berbeda objek penelitiannya yang dilakukan oleh Ahmad Fauzi pada tahun 2010 yang mengkaji tentang film Valley of The Wolves Palestine yang berjudul Propagaanda Turki Terhadap Israel (Studi Kasus Film Valley of The Wolves Palestine: 2011) dan mengenai kajian geopolitik dalam film Valley of The Wolves Iraq diteliti oleh Necati Anaz, seorang kandidat doktoral, Department of Geography, University of Oklahoma pada tahun 2010, yang mengkaji secara jelas dan mendalam tentang studi geopolitik film Valley of The Wolves Iraq.

Dari paparan tinjauan pustaka diatas, dapat dikatakan bahwa penelitian yang mengkaji tentang film Valley of The Wolves Iraq di lingkungan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang masih belum ada, tetapi teori hegemoni yang dipaparkan oleh Antonio Gramsci pernah digunakan oleh para peneliti sebelumnya, dengan objek kajian penelitian yang berbeda. Peneliti yakin masih banyak penelitian-penelitian berkaitan dengan kajian film dengan menggunakan pendekatan teori Hegemoni Antonio Gramsci. Penelusuran pustaka terhadap kajian-kajian serupa ini perlu dilakukan, hal ini dilakukan supaya tidak terjadi pengulangan dalam pengkajiannya dan dapat dimanfaatkan sebagai bukti keaslian dalam penelitian ini. Sehingga, peneliti tidak dianggap melakukan tindak plagiasi atas peneltian yang telah dilakukan sebelumnya.

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Macam Penelitian
Menurut Mardalis , metode adalah suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam penelitian, sedangkan penelitian sendiri diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran. Sedangkan Faruk, menyebutkan bahwa metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis, untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis dikakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang ada, kemudian disusul dengan analisis yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Melalui metode ini data-data yang didapat melalui pengamatan secara komprehensif, kemudian dideskripsikan dengan maksud untuk menemukan unsur-unsurnya, kemudian dianalisis dengan mengambil beberapa bagian penting dalam penelitian tersebut.

Berdasarkan metode penelitian deskriptif analisis yang dipaparkan diatas, peneliti kemudian membuat langkah-langkah penelitian. Langkah-langkah penelitian ini diungkapkan untuk lebih mempermudah peneliti dalam menganalisa objek kajian penelitian. Dengan menggunakan metode tersebut peneliti ingin mengungkapkan secara detail daan komprehensif penelitian kali ini, sehingga nantinya didapat hasil yang maksimal dan valid. Sebab metode penelitian sangat mempengaruhi dalam proses pengerjaan dan penyelesaian suatu penelitian, bila metode penelitiannya baik, maka dalam penelitian pun akan lancar dan terstruktur.

Sedangkan penelitian kali ini, menggunakan jenis penelitian kualititatif, yakni melalui library research (studi pustaka), mencari sumber data atau referensi yang berkaitan dengan penelitian tersebut. Metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik fenomena yang sedikit belum diketahui. Metode ini dapat juga digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang suatu yang baru sedikit diketahui. Demikian pula metode kualitatif dapat memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif.

1.7.2 Sumber Data
Sumber-sumber data yang diambil dalam penelitian kali ini, ada dua macam sumber data, yakni:
1. Sumber Data Primer, merupakan sumber-sumber data utama yang digunakan sebagai objek kajian dalam penelitian, dalam penelitian ini peneliti mengambil sumber data primernya yakni film Valley of The Wolves Iraq yang diproduksi oleh salah satu produksi film di Turki, Pana Film.
2. Sumber Data Sekunder, merupakan sumber-sumber data yang diperlukan dalam penyusunan dan kelengkapan menyelesaikan penelitian ini, peneliti mengambil buku-buku terkait penelitian kali ini, yakni terutama referensi yang berkaitan dengan kajian sosiologi sastra, terutama teori hegemoni Antonio Gramsci dan konflik sosial, serta referensi yang menunjang kelengkapan data penelitian ini.

1.7.3 Teknik Pengumpulan dan Analisa Data
Berdasarkan metode penelitian deskriptif analisis yang dipaparkan diatas, peneliti kemudian membuat langkah-langkah penelitian. Langkah-langkah penelitian ini diungkapkan untuk lebih mempermudah peneliti dalam menganalisa objek kajian penelitian. Adapun deskripsi langkah penelitian peneliti jabarkan sebagai berikut.
1. Menentukan objek material dalam penelitian. Objek material dalam penelitian ini adalah film Valley of The Wolves Iraq.
2. Menentukan masalah pokok penelitian. Masalah pokok dalam penelitian ini adalah seputar konflik dan bentuk-bentuk hegemoni yang ada dalam film Valley of The Wolves Iraq.
3. Melakukan studi pustaka, yaitu mengumpulkan data-data yang dapat mendukung pemecahan masalah dalam penelitian ini. Studi pustaka yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan data-data teori hegemoni Antonio Gramsci dan data-data yang berkaitan dengan konflik sosial.
4. Menganalisa data atau objek formal dengan metode deskriptif analisis sesuai dengan metode dan langkah-langkah penelitian yang dipaparkan diatas.
5. Menarik kesimpulan penelitian. Muatan dari kesimpulan adalah merupakan jawaban dari rumusan masalah yang peneliti ajukan.
6. Merumuskan dan menuliskannya dalam bentuk laporan penelitian.

1.8 Sistematika Pembahasan
Dalam suatu penelitian, sistematika adalah suatu hal yang sangat penting. Sistematika penelitian selain mempunyai fungsi struktural juga akan lebih memudahkan dalam melakukan penelitian sehingga dapat memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian.

Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini adalah, Bab I terdiri dari: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitiam, Batasan Penelitian, Kajian Riset Sebelumnya, Metode Penelitian, dan Sistematika Penelitian. Bab II dalam penelitian ini terdiri dari Kajian Teori yakni Teori Hegemoni Antonio Gramsci. Bab III terdiri dari Pembahasan dan Analisa Data, dan Bab IV, yakni Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran. Terakhir, yakni penulisan Daftar Pustaka.

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Teori Hegemoni Antonio Gramsci
Hegemoni adalah sebuah teori yang dapat digunakan dalam menganalisis suatu karya sastra, terutama dalam kaitannya dengan sosiologi sastra. Hegemoni dalam bahasa Yunani disebut juga dengan “eugemonia” yang menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polis) secara individual. Sedangkan menurut Nyoman Kutha Ratna, menyebutkan bahwa hegemoni berasal dari kata hegesthai (Yunani), yang berarti memimpin, kepemimpinan, kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Jadi secara leksikografis hegemoni berarti “kepemimpinan”.

Hegemoni dikembangkan oleh filsuf Marxis Italia Antonio Gramsci (1891-1937). Konsep hegemoni yang ia usung memang dikembangkan atas dasar dekonstruksinya terhadap konsep Marxis ortodoks. Menurut Chantal Mouffe, istilah hegemoni dipergunakan pertama kali tahun 1926 dalam tulisannya yang berjudul “Notes on the Southern Question”. Meskipun, istilah hegemoni sebenarnya sudah digunakan oleh Plekhanov dan para pengikut Marxis pada tahun 1880-an.

Gramsci termasuk pemikir penting Italia yang tepengaruh oleh pemikiran Marxisme dan filsafat Hegel, meskipun kemudian merevisi dan megkritk gagasan tersebut. Gramsci juga terlibat dalam gerakan sosialisme Italia, terutama menjadi oposisi radikal dari sosialisme reformis. Gramsi juga dikenal dengan sebagai kritikus teater selain sebagai komentator politik.

Hegemoni sendiri pengertiannya adalah dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar yang bersifat moral, intelektual serta budaya.
Teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci adalah sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan, ideologi mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.
Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Disini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai.
Berdasarkan teori Hegemoni Gramsci, maka didapat bentuk-bentuk hegemoni. Dalam kerangka teori Gramsci, setidaknya terdapat enam konsep kunci, yaitu kebudayaan, hegemoni, ideologi, kepercayaan populer, kaum intelektual dan negara.

Selain itu, terdapat terminologi teoritis yang dibangun Gramsci dan mempunyai hubungan penting dalam teori Marxis yakni mengenai gagasan Gramsci tentang ideologi. Ideologi dalam teori Gramsci mempunyai peran yang sangat penting terutama untuk mencapai berbagai tujuan-tujuan penguasaan. Konsep ideologi Gramsci merupakan koreksi dari asumsi Marxisme, yang membatasi ideologi sebagai produk hubungan kelas sosial yang dipelihara, dijalani, dan dilegitimasi, dan dalam situasi tersebut hubungan sosial berlangsung dalam situasi tersebut hubungan sosial berlangsung dalam situasi koersif akibat kebutuhan ekonomi.
Gramsci menyebutkan bahwa ideologi tidak hanya eksis, melainkan juga memiliki pengaruh sangat signifikan bagi perubahan historis. Ideologi dalam gagasan teoritik Gramsci lebih bersifat material yang berfungsi sebgai instrumen dalam membebaskan manusia dari kesadaran palsu dan berbagai bentuk eksploitasi maupun dalam konteks perebutan kelas sosial dan politik.

Hegemoni, bagi Gramsci, bukanlah supremasi suatu kelompok atas kelompok lain dengan cara kekerasan, melainkan supremasi suatu kelompok dengan kelompok lainya bukan sekadar dalam relasi ekonomis (penguasaan alat produksi sebagaimana yang diyakini oleh Marxis) dengan cara kekerasan. Inilah yang menjadi poin penting dalam pembahasan teori hegemoni Gramsci. Inti dari hegemoni menurut konteks teori Gramsi adalah keberhasilan kelompok penguasa mendapatkan persetujuan dari kelompok subordinat atas penguasaan subordinasi mereka. Bahkan menurutnya, hegemoni adalah sebuah capaian penguasaan yang paling legitimat, karena kekuasaan mereka diterima dalam sistem ideologi, kebudayaan, nilai-nilai, maupun norma-norma kelompok yang dikuasai.

Lebih jauh Gramsci menggambarkan bahwa ada dua bentuk cara meraih supremasi. Pertama adalah melalui “dominasi”, pencapaian supremasi dengan jalan dominasi selalu ditandai dengan bentuk “penghancuran”, “penaklukan”, dan “penggunaan kekuatan”. Kedua adalah melalui “kepemimpinan moral dan intelektual”. Pencapaian supremasi dengan cara kepemimpinan dilakukan dengan negoisasi dan kompromi. Merebut supremasi dengan cara kepemimpinan moral dan intelektual itulah yang disebut Gramsci sebagai hegemoni (yang dibedakan dengan “dominasi”). Hegemoni yang dipaparkan oleh Gramsci pada dasarnya terkait langsung dengan kepentingan-kepentingan ekonomi dan etis-politis. Maka, konsep hegemoni menjadi suatu cara praksis untuk menggali dan mengkaji lebih dalam suatu permasalahan yang identik berkaitan dengan politik. Bila melihat penjelasan diatas, dapat diketahui bahwasanya bentuk-bentuk hegemoni diantaranya, yakni ideologi supremasi, dominasi, serta kepemimpinan moral dan intelektual.

Selanjutnya, syarat penting pencapaian hegemoni menurut Gramsci adalah penyebaran ideologi kelompok atau kelas sosial. Penyebaran ideologi dilakukan melalui lembaga-lembaga sosial, bahasa, dan kaum intelektual. Kaum intelektual menurutnya suatu strata sosial yang melakukan tugas-tugas spesifik dalam aspek produksi, kebudayaan, dan politik. Baginya, kaum intelektual ada dua kategori, yakni kaum intelektual tradisonal dan kaunm intelektual organik. Kaum intelektual tradisional adalanh merka yang bercorak pedesaan seperti rohaniawan, pengacara, dokter, dan pegawai negeri yang terlibat dalam struktur model produksi feodal, sedangkan kaum intelektual organik yakni orang-orang yang berfungsi sebagai agen kelas sosialnya yang mengorganisir hegemoni dalam masyarakat sipil, yang termasuk dalam golongan intelektual adalah manajer, dosen, tentara, insinyur, warawan, dan sastrawan.

Menurut Gramsci, sastra tidak hanya memiliki peran secara praksis dalam meraih kepemimpinan hegemonik, tapi juga membuka dimensi baru dalam studi sosiologis dalam aspek kesusasteraan. Sastra dipahami sebagi kekuatan sosial, politik, kultural yang independen (otonom), serta mempunyai sistemnya sendiri, meskipun pada hakikatnya berada dalam kesatuan organik dengan infrastruktur sosialnya.
Dalam studi sastra teori hegemoni merupakan penelitian dalam kaitannya dengan reasi-relasi sastra dengan masyarakat, hubungan pengarang dengan masyarakat. Secara aringkas bagaimana kekuatan-kekuatan sosial dibangnin di dalam teks sastra. Karya sastra tidak lagi berfungsi sebagai cermin pasif, cerita sebagai mata-mata memindahkan dari dna mellui kejadian sehari-hari. Sebaliknya, karya sastra adalh peristiwa kultural itu sendiri, dengan otonomi dan mekanismenya masing-masing. Dengan kalimat lain, karya sastra adalah energi yang melaluinya keseluruhan aspek kultural termanifestasikan. Dalam hubungan inilah disebutkan karya sastra sebagai ‘dunia dalam kata’. Model analisisnya dilakukan dengan mengeksploitasi kata-kata itu, tetapi selalu dengan menemukan hubungannya semesta kultural yang diwakilinya.

BAB III
PEMBAHASAN DAN ANALISIS DATA

3.1 Irak Dibawah Kekuasaan Amerika Serikat dalam Film Valley of The Wolves Iraq
3.1.1 Irak Dibawah Kekuasaan Amerika Serikat dalam Film Valley of The Wolves Iraq
Berdasarkan peristiwa yang terjadi pada 20 Maret 2003, yakni ketika Amerika Serikat memutuskan untuk melakukan invasi atas Irak meskipun ditentang oleh masyarakat internasional, bahkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Invasi tersebut merupakan fenomena yang penting bagi hubungan internasional mengingat banyak orang berharap pasca Perang Dingin akan terwujud perdamaian internasional tetapi yang justru intensitas perang, khususnya di Timur Tengah, yang terus meningkat. Situasi seperti ini pernah terjadi menjelang abad ke-20, ketika banyak orang berharap dengan penuh optimisme akan terwujud perdamaian dunia setelah diselenggarakan Konferensi Perdamaian Internasional di The Heague, Netherland, pada tahun 1899 dan 1907 setelah Eropa mengalami banyak perang antara 1848-1870. Tetapi yang justru terjadi Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang melibatkan hampir semua negara Eropa, Rusia (Uni Soviet), Amerika dan Jepang serta mempunyai dampak terhadap hampir semua negara di seluruh peta di bumi.

Sesuai dengan apa yang terjadi dalam peristiwa tersebut, lalu peneliti tertarik untuk mengkaji dan menganalisa penelitian yang berkaitan dengan kajian film, yakni film Valley of The Wolves Iraq, yang juga menggambarkan kenyataan tentang peristiwa invasi Amerika Serikat ke negara Irak dan bagaimana posisi Amerika Serikat melakukan berbagai intervensi kepada negara penghasil minyak terbesar kedua di dunia tersebut dan peneliti melihat adanya hegemoni yang dilakukan oleh pihak Amerika Serikat, dan ini sesuai dengan apa yang dipaparkan dalam teori hegemoni yang digagas oleh Antonio Gramsci. Sehingga, nantinya didapat hasil kajian tentang bagaimana konteks (kondisi) dan fakta yang ada dalam film dapat dianalisa menggunakan teori tersebut.
Invasi dan pendudukan Amerika Serikat atas Irak (sejak April 2003). Serangan Amerika Serikat ke Irak didasarkan atas tuduhan bahwa rezim yang berkuasa di negara tersebut merupakan pendukung jaringan “terorisme internasional”, selain tuduhan soal kepemilikan senjata pemusnah massal yang dikembangkan oleh rezim Irak di bawah Saddam Hussein.

Sebenarnya ketika melancarkan invasinya ke Irak, Amerika Serikat sama sekali tidak mendapat dukungan dari para sekutu utamanya, terutama Eropa Barat (kecuali Inggris dan Spanyol) maupun di Timur Tengah (kecuali negara-negara monarki Teluk Persi), bahkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menolak memberikan legitimasinya.
Bila melihat berdasarkan kronologis peristiwa dalam film Valley of The Wolves Iraq, sangat jelas terlihat bagaimana kondisi Irak saat di bawah “penjajahan” Amerika Serikat, terutama kondisi masyarakat Irak pasca berakhirnya riwayat kekuasaan Saddam Hussein jelas membawa dampak sangat besar, baik dalam arti positif maupun negatif, bagi kawasan Timur Tengah, terutama bagi masyarakat Irak yang tidak mempunyai pemimpin atau mengalami kevakuman dari segi pemerintahannya.

Situasi inilah yang dimanfaatkan oleh Amerika Serikat sebagai negara hegemon yang berusaha menghegemoni Irak, atas kekuasaannya tersebut sehingga melakukan penguasaan dan invasi yang pada dasarnya untuk menguasai minyak Irak. Karena bagi Amerika Serikat, Irak adalah target yang harus mereka kuasai untuk mengeruk pasokan minyak yang merupakan ladang subur bagi kemajuan Amerika Serikat. Selain itu, bagi Amerika Serikat, Irak (dengan segala kekuatan yang dimilikinya) dianggap sebagai sumber ancaman yang memiliki potensi berkembangnya terorisme sehingga harus diantisipasi. Oleh karena itu, George Walker Bush mengeluarkan kebijakan “Operasi Pembebasan Irak”, atau yang lebih sering dikenal dengan invasi Irak. Tujuan resmi yang ditetapkan pemerintah Bush saat menginvasi Irak adalah untuk melucuti senjata pemusnah massal Irak, mengakhiri dukungan Saddam Hussein kepada terorisme, menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein yang otoriter, dan menjaga keamanan negara tersebut.

Bahkan, George Walker Bush menyatakan kalau invasi Irak merupakan refleksi atas kepedulian Amerika Serikat terhadap masyarakat Irak yang berada di bawah tirani Saddam Hussein. Sehingga ia menjanjikan pembebasan rakyat Irak untuk mendapatkan perlakuan selayaknya, dan mencegah serta mengakhiri kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam negeri Irak.

Tetapi, hegemoni yang dilakukan oleh Amerika Serikat berdampak konflik kepada masyarakat Irak, walupun hanya beberapa orang saja dari elemen masyarakat Irak yang melakukan protes tersebut, tetapi pada hakikatnya mereka juga memprotes dan tidak setuju atas intervensi dan hegemoni yang dilakukan oleh Amerika Serikat, sehingga konflik pun tidak dapat terhindarkan, dalam film Valley of The Wolves Iraq juga digambarkan tentang bagaimana kondisi tentara Turki yang berjaga-jaga di salah satu kawasan Irak, yakni di Suleymaniye Irak Utara pada tanggal 4 Juli 2003 untuk mengamankan wilayah tersebut, yang kemudian diserang oleh kawanan pasukan militer Amerika Serikat, yang berdalih untuk mencari terorisme di daerah tersebut. Hingga akhirnya Kapten Suleyman, pemimpin tentara Turki harus bunuh diri atas perlakuan Amerika Serikat, dengan kekejaman dan kebiadaban yang dilakukan oleh tentara Amerika Serikat kepadanya dan para anggotanya selama bertugas di Irak.
Sesuai apa yang dituliskan dalam surat oleh kapten Suleyman, bahwa ia meminta bantuan kepada salah satu intelijen Turki, yakni Polat Alemdar untuk membantu sengketa permasalahan di Irak, terutama untuk menyelesaikan hegemoni dan intervensi Amerika Serikat, yang diwakili oleh Tuan Sam William Marshall, pemimpin pihak Amerika Serikat, seperti apa yang tergambarkan dalam film tersebut.

Sehingga, terjadilah konflik atas invasi Amerika Serikat kepada Irak dan peristiwa ini terepresentasikan dalam film tersebut. Sebenarnya konflik sendiri dapat dikategorikan menjadi dua macam, yakni kategori debates dan war. Sedangkan, konflik yang terjadi dalam film Valley of The Wolves Iraq dalam penelitian kali ini bila dikategorikan dalam tingkat konflik berdasarkan aktor konfliknya, yakni termasuk dalam kategori debates , maksudnya konflik yang terjadi berbasis konflik antar negara-masyarakat, sedangkan konflik antar masyarakat terutama sering terjadi di negara yang berbasis republik. Dalam film tersebut ada beberapa sebab pemicu konflik yakni ada dua sebab, yaitu sebab eksternal dan internal. Sebab eksternal yang peneliti maksud yakni apa yang melatarbelakangi terjadinya konflik dari luar negara atau masyarakat Irak pada umumnya, artinya konflik itu terjadi akibat aktualisasi ideologi dan keinginan masyarakat Irak untuk melakukan perlawanan dan sebab itulah terjadi konflik. Adapun konflik internal adalah konflik yang terjadi karena sebab dari dalam negara Irak atau dari masyarakat Irak itu sendiri, dan akhirnya menyebabkan konflik sebagaimana yang digambarkan dalam film tersebut.

Ini juga sama seperti apa yang dipaparkan oleh Gramsci bahwa konflik tidak dapat dihindarkan apabila hegemoni yang dilakukan oleh kelas penguasa kepada kelas bawah, tidak disetujui oleh kelas subordinasi (proletar), yang dimaksud disini yakni masyarakat Irak, meski kelas penguasa yang digambarkan dalam film tersebut tidak secara struktural dari negara (Irak) kepada rakyatnya, tetapi melalui Amerika Serikat yang notabene berada di luar negara (Irak), berusaha untuk menanamkan hegemoni kepada kelompok yang lain atau kelas bawah (masyarakat Irak). Oleh karena itu, sebenarnya konsep hegemoni dalam film ini cakupannya lebih luas lagi, yakni melebihi apa yang digambarkan dan dijelaskan oleh Gramsci dari teori hegemoninya (yakni negara menguasai rakyat), tetapi yang dibahas dalam penelitian kali ini (negara lain menguasai rakyat). Inilah yang sebenarnya menjadi perhatian peneliti dalam mengkaji penelitian ini, yakni pada penelitian kali ini dapat dikatakan sebagai pengembangan dari teori hegemoni Antonio Gramsci dan peneliti menyadari kajian seperti ini seharusnya perlu diperdalam lagi untuk menemukan titik kajian penting yang dapat memberikan manfaat dan kegunaan bagi dunia intelektual, terutama dalam hal kajian sastra.

Melihat hal tersebut, peneliti mengkaji dan menganalisa tentang permasalahan yang ada dalam film Valley of The Wolves Iraq dan pada dasarnya sebab eksternal mempunyai kekuatan luar biasa yang menyebabkan timbulnya konflik. Adapun konflik eksternal yang digambarkan terjadi akibat ulah Amerika Serikat yang mengintervensi dan menghegemoni negara ataupun masyarakat Irak, hingga adanya persekutuan antara Suku Kurdi dengan pihak para tentara Amerika Serikat untuk membentuk pemerintahan baru di bawah komando Amerika Serikat dan dari masalah tersebut kemudian muncul konflik yang berkepanjangan hingga terbentuknya pemerintahan pengganti kepemimpinan Saddam Hussein yang diturunkan secara paksa oleh masayarakat Irak, melalui campur tangan Amerika Serikat di belakangnya dan inilah misi besar Amerika Serikat untuk menguasai Irak melalui strategi politik yang mereka bangun sedemikian rupa dan target besar mereka adalah menguasai ladang minyak yang dimiliki oleh Irak. Lebih jelas dan rincinya, kedua sebab tersebut akan peneliti paparkan sebagai berikut.

3.1.2 Sebab-sebab Eksternal Konflik dalam Film Valley of The Wolves Iraq
Seperti yang sudah peneliti paparkan diatas, bahwa sebab eksternal adalah sebab-sebab yang muncul dari luar negara atau masyarakat Irak, yakni apa yang melatarbelakangi terjadinya konflik dari luar negara atau masyarakat Irak pada umumnya, artinya konflik tersebut tidak terjadi sebagai akibat dari masyarakat Irak atau dari negara Irak.

Adapun sebab-sebab eksternal yang peneliti temukan adalah sebagai berikut:
A. Hegemoni dan Intervensi Amerika Serikat
Konflik dalam film Valley of The Wolves Iraq pada dasarnya terjadi akibat dari hegemoni dan intervensi yang dilakukan oleh pihak Amerika Serikat, yang dalam film tersebut diwakili oleh Tuan Sam William Marshall, yang melakukan intervensi dan menghegemoni masyarakat Irak untuk menumpas para terorisme di Irak dan membantu atas nama Hak Asasi Manusia (HAM), pada dasarnya. Tetapi kemudian misi itu berubah untuk menguasai negara dan masyarakat Irak, terutama minyaknya.

Sebagaimana diketahui bahwa hegemoni yang dilakukan oleh Tuan Sam William Marshall, sebagai perwakilan Amerika Serikat, yang secara umum adalah seperti konsep hegemoni yang didefinisikan oleh Dean Minix, bahwa:
“Hegemon is a regional or world economic and/ or political-military power that seeks to impose the existing world order on others for the sake of its own stability.”

Jadi, hegemoni yang dimaksud adalah kekuatan ekonomi, politik dan atau militer di suatu wilayah atau di seluruh dunia yang menetapkan dunia pada yang lain untuk stabilitas negaranya sendiri. Dengan perkataan lain, negara hegemon adalah negara yang mempunyai kekuatan ekonomi, politik, dan atau militer sehingga mereka berkuasa untuk menetapkan peraturan-peraturan tatanan dunia kepada negara-negara lain di suatu wilayah atau diseluruh dunia demi untuk stabilitasnya sendiri.

Sedangkan konsepsi teoritis mengenai hegemoni yang dipaparkan oleh Antonio Gramsci, yakni pada dasarnya manusia terlibat dalam proses perubahan sosial dan historis justru bersifat aktif, sebab watak manusia tidak bersifat baku, dapat ditentukan dan dipengaruhi. Situasi tersebut membuat manusia mempunyai akar yang sangat kuat terhadap sejarahnya. Itulah yang menjadi sikap yang diambil oleh Amerika Serikat untuk melakukan intervensi dan hegemoni kepada masyarakat Irak, karena berdasarkan segi historisnya, negara Amerika Serikat adalah negara yang ingin mewujudkan dan membangun sebuah penguasa dunia dan negara adidaya (super power).
Hegemoni yang digagas oleh Gramsci, sebenarnya digunakan untuk menganalisa suatu masalah, terutama kaitannya dalam hal kajian sosiologi sastra, bukanlah supremasi suatu kelompok atas kelompok lain dengan cara kekerasan, melainkan supremasi suatu kelompok dengan kelompok lainnya, bukan sekadar dalam relasi ekonomis (penguasaan alat produksi sebagaimana yang diyakini oleh Marxis) dengan cara kekerasan. Tetapi, hegemoni dalam konsep teoritiknya bersifat kepemimpinan moral yang terjadi pada setiap aspek dalam relasi sosial antara kelompok penguasa dan kelompok yang disubordinasi. Bila dikaitkan dengan film Valley of The Wolves Iraq, sangatlah jelas bahwa pihak Amerika Serikat melakukan hegemoni yang bersifat kepemimpinan moral. Ini dapat dilihat dalam cuplikan dalam film tersebut yang menggambarkan bagaimana Tuan Sam William Marshall melakukan hal yang dianggap oleh masyarakat Irak, terutama suku Kurdi (suku mayoritas yang mendiami wilayah Irak), menjadi sebuah wujud kepedulian sosial dan bersifat kepemimpinan moral, ia berdiri di depan panggung menerima hadiah dari pihak pimpinan suku Kurdi atas jasa dan bantuannya membantu masyarakat Irak, melalui bantuan sosial berupa kebutuhan pokok dan sandang pangan bagi warga Irak.

Gramsci juga menekankan pentingnya aspek kultural sebagai penyebaran iradiasi hegemoni, tidak sekadar politik sebagaimana yang ditegaskan oleh Marxisme. Oleh karena itu, ia membagi masyarakat pada dua wilayah, yakni masyarakat sipil dan masyarakat politik. Kedua masyarakat tersebut mempunyai peran dan kontribusi dalam ranah kesadaran untuk mempertahankan hegemoni yang dilancarkan oleh pihak negara hegemon, yang dimaksud disini yakni Amerika Serikat.

Intervensi dan kepentingan Amerika Serikat terhadap konflik Irak terlihat dari begitu responsifnya Amerika Serikat terhadap konflik yang terjadi, dengan dalih demokrasi yang diusung sebagai wujud keberpihakan Amerika Serikat atas Irak. Selain itu, kepentingan Amerika Serikat terhadap Irak juga tampak dalam film Valley of The Wolves Iraq, (2006: 00: 53: 00-00: 58: 55), dimana terjadi diskusi yang menarik antara salah satu pemimpin suku Kurdi, Tuan Sam William Marshall, perwakilan masyarakat Irak dan salah satu pemimpin Turki, yakni Hassan. Hingga pertemuan tersebut berakhir tragis, karena adanya bom bunuh diri yang dilakukan oleh salah satu orang Irak yang mengorbankan dirinya untuk melakukan bom bunuh diri, yang diangap sebagai medan jihad. Inilah yang juga menjadi titik perhatian penting, bahwa adakalanya hegemoni yang dilakukan oleh negara hegemon (Amerika Serikat) tidak sejalan dengan ideologi ataupun kepentingan masyarakat yang dihegemoni (subordinasi).

Dari apa yang digambarkan tersebut, negara hegemon (Amerika Serikat), mempunyai komitmen secara ideologis untuk melegitimasikan tatanan dunia yang bebas dan harus mempunyai kesediaan berkorban untuk mempertahankan tatanan. Dapat dikatakan, bahwa: “The hegemonic power must be commited ideologically to legitimacy of the liberal world order and must be willing to make sacrifies in order to maintain the order.”
Oleh karena itu, sebagai negara hegemon, Amerika Serikat mempunyai fungsi dan peran untuk menjaga stabilitas sistem internasioanl. Tetapi, pada faktanya negara Amerika Serikat menyalahgunakan kekuatannya dan mengakibatkan ketidakstabilan sistem yang berupa konflik atau perang karena munculnya kekuatan lain yang melakukan perlawanan.

Apabila ditelusuri secara mendalam, Amerika Serikat melakukan intervensi dan hegemoni kepada masyarakat Irak bukanlah hal yang tidak didasari oleh tendensi apapun, tetapi Amerika Serikat ingin menguasai Irak, terutama minyaknya, meski pada dasarnya tidak berhasil, karena digagalkan oleh salah satu intelijen dari Turki yang dalam film Valley of The Wolves Iraq diwakili oleh Polat Alemdar dan teman-temannya tersebut. Hingga pasukan militer Amerika Serikat mengepung Polat Alemdar, karena mereka dianggap musuh yang menghentikan hegemoninya dan Tuan Sam William Marshall sebagai aktor penting di kubu Amerika Serikat harus mati dan kalah dibunuh oleh Polat Alemdar dalam perseteruan di kawasan desa di daerah Irak, maka hegemoni yang dilancarkan olehnya pun berhasil dihentikan oleh intelijen Turki, Polat Alemdar dan kawan-kawannya yang merupakan utusan dari pemerintah Turki untuk mengatasi masalah yang terjadi antara pihak Irak dengan Amerika Serikat tersebut. Meskipun pada akhirnya masih ada kelanjutan berikutnya dari peristiwa tersebut.
Sehingga, sangatlah terlihat jelas bagaimana suatu hegemoni akan digunakan sebagai cara untuk melakukan bentuk legitimasi atas kelompok lainnya, sehingga kelompok tersebut nantinya dapat dikuasai. Agar dapat mencapai hegemoni, ideologi harus disebarkan. Menurut Gramsci, penyebaran itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui lembaga-lembaga sosial tertentu yang menjadi pusatnya, misalnya bentuk–bentuk sekolahan dan pengajaran, kematangan dan ketidakmatangan relatif nasional, sifat-sifat kelompok sosial yang dominan, dan sebagainya. Pusat-pusat itu mempunyai fungsionaris yang mempunyai peranan penting, yaitu kaum intelektual. Inilah yang Gramsci paparkan dalam bukunya The Prison Notebooks yang menjelaskan bahwa pada dasarnya negara akan menghegemoni masyarakat yang merupakan target penguasaan mereka dan dalam pembahasan hegemoni Gramsci masyarakat dibagi menjadi dua kelompok, yakni masyarakat intelektual tradisional dan masyarakat intelektual organik.

Seperti apa yang digambarkan dalam film Valley of The Wolves Iraq, ada masyarakat intelektual tradisional dan masyarakat intelektual organik. Keduanya memiliki peran penting dalam menjalankan proses hegemoni, masyarakat intelektual tradisional diwakili oleh masyarakat Irak pada umumnya, sedangkan masyakarat intelektual organik diwakili oleh tentara, rohaniawan, dan pekerja. Kedua macam masyarakat yang dijelaskan oleh Gramsci pada dasarnya menjadi salah satu faktor keberhasilan penyebaran dan keberhasilan hegemoni, tanpa keduanya sebuah hegemoni tidak akan sukses dan tertanam pada target hegemoni (kelas bawah) yang merupakan objek vital hegemoni.

Tidak hanya itu, dengan menghancurkan Irak, Amerika Serikat semakin terbuka peluangnya untuk menapakkan pengaruh politiknya di Timur Tengah. Selama ini, pengaruh politik Amerika Serikat di Timur Tengah belum dapat terwujud secara maksimal, dikarenakan pemerintahan Saddam Hussein yang tidak mau tunduk pada Amerika Serikat, Saddam Hussein secara terang-terangan mempunyai keberanian untuk menentang hegemoni Amerikaa Serikat dan menggalang dukungan dari negara-negara Teluk untuk menentang Amerika Serikat.

Keruntuhan pemerintahan Saddam Hussein juga dimaksudkan Amerika Serikat untuk mengirimkan sinyal tegas dan peringatan kepada negara-negara di Timur Tengah, bahwa Amerika Serikat tidak akan segan-segan mengirimkan mesin-mesin perangnya kepada negara-negara yang melawannya. Inilah yang menjadi titik temu antara film Valley of The Wolves Iraq dengan teori hegemoni Antonio Gramsci, bahwa negara Amerika Serikat adalah negara hegemon yang mempunyai agenda besar untuk menguasai dunia, bahkan kaswasn Timur Tengah yang memiliki kekayaan minyak dan posisi yang sangat strategis, terutama Amerika Serikat juga memiliki mata-mata sekaligus tangan kanannya, yakni Israel yang siap membantu sukses tercapainya hegemoni yang ingin dilancarkan kepada negara-negara kawasan Timur Tengah.

B. Konflik di Timur Tengah
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa kawasan Timur Tengah menjadi rebutan negara-negara besar, karena mempunyai arti strategi yang penting. Hal ini adalah berkat letaknya pada titik pertemuan tiga benua besar, yakni Eropa, Asia dan Afrika, jalur-jalur komunikasi yang menghubungkan ketiga benua itu, kekayaan minyak dan petro dollarnya, dan ketergantungan negara-negara industri Barat dan Jepang ada kekayaan minyak itu. Khususnya yang terakhir ini sangat penting dalam pertarungan global Timur-Barat sekarang ini. Selain keunikan geografisnya, Timur Tengah memiliki beberapa sifat lain yang khas. Meskipun dihuni oleh tidak lebih dari 90 juta orang, ia merupakan pusat dunia Islam, dari 300 juta jiwa masyarakat dunia. Disana terdapat tempat-tempat paling suci Islam dan lembaga-lembaga keilmuan Islam tertinggi.

Tidak hanya itu, berbagai konflik yang terjadi dalam kawasan Timur Tengah juga disebabkan karena adanya penumbangan pemimpin-pemimpin di wilayah Timur Tengah, yang dimulai dari penumbangan presiden Tunisia Zine al-Abidine Ben Ali, hingga lengsernya beberapa pemimpin di negara Timur Tengah, seperti Mesir, dan negara lainnya, yang dikenal dengan “Arab Spring”. Revolusi tersebut memberikan inspirasi rakyat dibeberapa negara tetangga yang mempunyai kondisi yang sama. Memang sejak tanggal 18 Desember 2010, Arab Spring telah terjadi di Tunisia dan Mesir, perang saudara di Libya, pemberontakan sipil di Bahrain, Suriah, dan Oman, protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, dan Oman, serta protes kecil di Kuwait, Lebanon Mauritania, Arab Saudi, Sudan, dan Sahara Barat.

Itulah yang menjadikan salah satu sebab terjadinya konflik dalam film Valley of The Wolves Iraq, dimana kawasan Irak yang notabene merupakan daerah penghasil minyak terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi dan jelas ada perhitungan-perhitungan ekonomi dan bisnis yang mendasari agresi Amerika Serikat ke Irak.
Bila melihat dalam film tersebut, tergambar jelas bagaimana Irak sering terjadi konflik, yang dimaksud disini adalah konflik yang terjadi di dalam Irak (konflik internal). Itulah yang menjadi poin penting tentang bagaimana Timur Tengah telah mejadi titik sentral dalam percaturan dunia internasional, bahwasanya kawasan Timur Tengah, khususnya yang dimaksud oleh peneliti disini yakni negara Irak, sering mengalami konflik dan beberapa penanganan yang serius, dan konflik internal juga disebabkan adanya pelengseran atau penumbangan kepemimpinan presidennya. Peristiwa penumbangan pemimpin atau presiden juga pernah terjadi di beberapa negara di kawasan timur Tengah seperti di Tunisia, Mesir, dan negara lainnya yang pada dasarnya ingin mendapatkan penghidupan yang lebih baik, dengan mencopot kekuasaan dari pemimpinnya yang dianggap otoriter dan bersikap semena-mena kepada rakyatnya.

Kepentingan untuk menguasai Timur Tengah, terutama sumber minyaknya, dan dalam pembahasan ini yakni minyak yang ada di Irak, yang sesungguhnya salah satu tempat terbesar penghasil minyak dunia. Inilah penyebab yang menjadi salah satu alasan yang mendasari Amerika Serikat melakukan agresi ke Irak. Menurut Centre for Global Energy Studies (CGES) London, Irak diperkirakan memiliki 112 milyar barrel cadangan minyak. Bahkan cadangan miyak Irak diperkirakan lebih tinggi dari angka itu, karena sumber minyak di kawasan Gurun Pasir Barat yang belum dieksploitasi, misalnya, kemungkinan masih bisa menghasilkan sumber minyak tambahan. Dengan memiliki cadangan minyak 112 milyar barrel, Irak merupakan pemilik 11 persen cadangan minyak dunia yang belum sepenuhnya terjamah. Irak memiliki sekitar 2000 ladang minyak yang menghasilkan sekitar 2,5 juta barrel minyak per hari dari 15 deposit utama minyak di sebelah utara, selatan, dan timur Irak. Kapasitas sebenarnya ladang-ladang minyak itu diperkirakan dapat mencapai 2,8 juta barrel per hari.

Tidak hanya itu, Irak juga mempunyai 12 pabrik penyulingan minyak dengan total kapasitas 677.000 barrel per hari, terbesar ada di daerah selatan dan utara. Masing-masing kilang itu memiliki kapasitas 170.000 dan 15.000 barrel per hari. Sebelum Perang Teluk 1991, Irak mengekspor minyak melalui empat pipa ke Turki, Suriah, Arab Saudi dan dua pelabuhan di Teluk Parsi antara lain di Min al-Bakr yang dapat melayanai supertankers dan mengapalkan hingga 1,3 juta barrel per hari. Sumber daya minyak Irak diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan impor minyak Amerika Serikat hampir satu abad. Kesimpulannya, posisi Timur Tengah (termasuk Irak), masih cukup signifikan dalam pasokan dunia.

Sesuai data mengenai perkembangan produksi minyak mentah Organization Petroleum Exporting Countries (OPEC), memang ada tiga negara yang “menguasai” suplai minyak dunia, ialah Saudi Arabia, Irak dan Iran, dari 31,3 juta barrel/ hari (1977), ketiga negara itu menguasai lebih dari 50 (17,2 juta barrel/ hari) total produksi OPEC, sedangkan pada 1981 ketiga negara tersebut hanya Saudi Arabia yang masih bertahan menguasai 44 % produksi OPEC, sedangkan Iran merosot dari 18,2 % (1977) menjadi 5,7 % (1981) dan Irak merosot pula dari 7,9 % (1977) menjadi 4 % (1981). Ini dapat dilihat dari tabel berikut yang menyebutkan data tentang negara-negara yang merupakan anggota yang berada di bawah OPEC.

Kedua, selain beberapa hal yang disebutkan diatas, minyak dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi dunia jika harganya tidak stabil, terutama jika harga minyak naik secara tajam. Hal itu menyebabkan nilai impor minyak meningkat, biaya produksi meningkat, yang akhirnya akan menurunkan produktivitas. Produktivitas yang anjlok, akan memerosotkan perekonomian, dan menghambat pertumbuhan kerja. Pertumbuhan ekonomi penting bagi Amerika Serikat dan Irak memiliki potensi memainkan harga minyak dunia karena persediaannya yang melimpah.
Ketiga, pada 17 September 2002, Gedung Putih, dengan titipan pesan dari Bush, mengeluarkan dokumen 30 halaman berjudul The National Security Strategy of The United States. Gambaran umum dari dokumen itu adalah, tentang strategi kebijakan nasional Amerika Serikat didasarkan pada keunikan internasionalisasi Amerika Serikat yang merefleksikan kesatuan nilai-nilai dan kepentingan nasional mereka. Tujuan dari strategi itu adalah membentuk dunia yang tentu saja menurut persepsi Amerika serikat tidak saja “lebih aman”, tetapi juga lebih baik. Tujuannya adalah, “kebebasan” ekonomi dan politik, hubungan “serasi” dengan negara-negara lain, dan “penghargaan” pada nilai-nilai kemanusiaan.

Untuk mencapai tujuan itu, Amerika Serikat akan meningkatkan aspirasi soal nilai-nilai kemanusiaan, memperkuat aliansi untuk membasmi “terorisme” dan bekerja untuk menghindari serangan pada Amerika Serikat dan sekutunya, bekerja dengan pihak lain untuk “menghindari” konflik regional, mencegah ancaman musuh terhadap Amerika Serikat dengan senjata pemusnah massal, menciptakan era baru untuk pertumbuhan ekonomi global lewat pasar bebas dan perdagangan bebas, meningkatkan siklus pembangunan dengan membuka komunitas dan membangun sarana demokrasi, menciptakan agenda untuk aksi kerja sama dengan pusat-pusat kekuatan global, serta mentransformasikan lembaga kemanan nasional Amerika Serikat untuk menghadapi tantangan dan kesempatan abad 21. Namun dalam prakteknya, penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan diabaikan oleh Amerika Serikat demi perhitungan ekonomi dan bisnis, sebagaimana terlihat dari agresi ke Irak.

Keempat, konflik internasional selalu menghadirkan tragedi kemanusiaan, yaitu situasi dimana setidaknya ribuan warga sipil menderita kelaparan atau mati tanpa bantuan internasional. Pada 1999 Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menemukan kondisi itu di 23 negara. Akibat situasi itu Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) harus menanggung beban besar, baik beban kemanusiaan maupun biaya material. Dalam kasus agresi ke Irak, selain digunakan untuk operasi militer, juga untuk rehabilitasi fisik dan kemanusiaan Irak pasca perang.
Oleh karena itu, Irak menjadi kawasan penting dan tempat penghasil minyak produktif yang menguntungkan bagi dunia internasional, terutama negara-negara super power, yang dalam hal ini diwakili oleh Amerika Serikat.
Sebagaimana apa yang dijelaskan tentang keistimewaan Timur Tengah, bahwasanya di bawah tanah gersang beberapa bagian Timur Tengah terdapat sumber minyak yang merupakan emas hitamnya negara-negara di kawasan Timur Tengah. Cadangan minyak sangat besar telah menyebabkan Timur tengah sebagai arti yang sangat penting, bahkan melebihi batas-batas geografisnya. Pada saat ini tidak ada kebijakan luar negeri yang piawai yang dapat mengabadikan Timur Tengah dan dampaknya bagi negara-negara seluruh dunia.

Sebagian besar produksi minyak Timur Tengah tersedia untuk pasaran dunia, Eropa Barat mendapatkan 63% kebutuhan minyaknya dari kawasan Timur Tengah, Jepang bahkan 73% dan Amerika Serikat 30%. Minyak merupakan bahan bakar utama dan bahan mentah yang diperlukan dalam peradaban industri kontemporer sehingga Eropa Barat, Jepang dan Amerika Serikat sangat tergantung pada minyak Timur Tengah. Mengalirnya arus minyak secara bebas dari kawasan Timur Tengah merupakan masalah hidup dan mati bagi kehidupan dan industri sehingga ketergantungan pada minyak Timur Tengah merupakan titik lemah negara-negara Barat dan Jepang. Perekonomian dan angkatan bersenjata negara-negara Barat dan Jepang akan lumpuh jika suplai minyak dipotong sehingga Timur Tengah khususnya kawasan Teluk Parsi merupakan kepentingan yang sangat vital bagi negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat.

Bila dibandingkan dengan negara lainnya, Amerika Serikat memiliki ketergantungan paling tinggi terhadap minyak. Bahkan sebagian orang menyebut Amerika Serikat sebagai negara pecandu minyak. Kita bisa melihatnya dari dua sisi, yakni pertama, dilihat dari tingkat konsumsi minyaknya. Amerika Serikat mengkonsumsi sekitar 25 % produksi minyak dunia, padahal jumlah penduduknya hanya 5 % penduduk dunia. Dari sekitar 80 juta barel produksi minyak dunia, Amerika Serikat mengkonsumsi sekitar 20 juta barel.
Sementara tingkat produksi dan penguasaan minyak mereka sendiri hanya masing-masing sekitar 10 % dan 2 % minyak dunia. Amerika Serikat harus mengimpor sekitar 12 juta barel, atau sekitar 60 % kebutuhan minyak domestiknya. Departemen negeri Amerika Serikat sendiri memprediksi ketergantungan pada minyak impor ini akan terus meningkat sampai 70 % pada tahun 2025. Defisit minyak yang demikian besar membuat Amerika Serikat haus akan sumber minyak.

Kedua, dilihat dari pengaruh gejolak miyak tehadap perekonomian Amerika Serikat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Brown menunjukkan bahwa sembilan dari sepuluh resesi yang terjadi di Amerika Serikat dari mulai era perang dunia kedua hingga 2002 terkait dengan harga minyak. Bernank juga menemukan bahwa separuh dari penurunan output perekonomian Amerika Serikat disebabkan oleh kenaikan harga minyak. Meskipun minyak hanya menyumbang 5 % GDP mereka, tetapi minyak merupakan sumber energi utama yang menggerakkan perekonomian Amerika Serikat.

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa implikasi naiknya harga minyak akan berdampak serius bagi perekonomian mereka. Lebih jauh, bahkan minyak merupakan tulang punggung sektor pertahanan mereka. Kapal induk, jet-jet tempur, tank-tank, helikopter mereka, semuanya akan bergantung pada minyak.

Kecanduan terhadap minyak betul-betul menguasai sendi-sendi negara Amerika Serikat. Pasca keberhasilan upaya Roosevelt dalam mengamankan pasokan minyak dari Timur Tengah itu, pemimpin Amerika Serikat selanjutnya, seperti Truman, Eisenhowr, Nixon dan Carter, begitu terobsesi untuk terus mendominasi kawasan Teluk Parsi itu demi mengamankan pasokan minyaknya. Bahkan Carter pada tahun 1980 menyatakan bahwa Amerika Serikat akan menggunakan kekuatan militer untuk melindungi pasokan minyak dari Timur Tengah. Ia lalu membentuk Rapid Deployment Joint Task Force (RDJTF). Regen, penerus Carter, kemudian mengubahnya menjadi Central Commands (CentCom) yang berfokus melindungi aliran minyak dari Timur Tengah ke Amerika Serikat.

Setelah keberhasilan Bush mewujudkan misinya dengan melancarkan agresi terhadap Irak dan mendongkel Saddam Hussein dari kekuasannya. Namun, agresi Amerika Serikat itu pada hakikatnya mencerminkan terkuaknya kebohongan liberalisme, kapitalisme, dan demokrasi, yang selalu diagung-agungkan oleh Amerika Serikat serta para sekutu dan simpatisannya. Memang sangat ironis, ketika dunia mengaku memasuki era yag modern dan beradab, yang terjadi justru suatu perilaku sangat biadab dan barbar yang dilakukan oleh negara kuat yang mengaku sebagai ‘pendekar’ Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi terhadap negara yang lemah.

Dengan menguasai minyak Irak, Amerika Serikat dapat dengan mudah mempermainkan minyak dunia, karena selama ini penentuana harga minyak masih dikuasai OPEC, bukan salah satu negara tertentu. Jatuhnya Irak dan semakin kuatnya pengaruhnya Amerika Serikat di kawasan Teluk tidak saja akan mengamankan suplai minyak bagi Ameriak Seriakat dan sekutunya, tetapi juga mengantarkan Amerika Serikat sebagai negara yang dapat mengontrol kepentingan ekeonomi terutama minyak negara lain, yang dimaksud kali ini yakni minyak yang berada di kawasan Irak.

3.1.3 Sebab-sebab Internal Konflik dalam Film Valley of The Wolves Iraq

3.2.1 Stabilitas Politik Internal Irak
Membahas mengenai penyebab konflik yang terjadi dalam film Valley of The Wolves Iraq, peneliti menemukan sebab terjaidinya konflik dalam film tersebut karena stabilitas politik negara Irak yang masih kacau. Ini terbukti dari penggambaran peristiwa dalam film yang menyebutkan bahwa atas kepemimpinan Saddam Hussein yang dianggap diktator dan otoriter. Kemudian, juga diperkuat adanya suku Kurdi yang merupakan suku terbesar yang mendiami di negara Irak, yang dalam hal ini bersekutu dengan pihak Amerika Serikat untuk menanamkan ideologi dan hegemoninya kepada masyarakat Irak.

Selain itu, Turki yang merupakan negara tetangga Irak yang merupakan sahabat baiknya, mencoba menjadi penengah dan salah satu negara yang memberikan bantuan kepada Irak atas apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat dengan intervensi dan hegemoni yang dilakukannya.

Secara geopolitik, memang Turki juga mempunyai andil besar dalam mengawasi dan membantu negara Irak, sebab Irak dan Turki merupakan kedua negara yang mempunyai hubungan poitik yang relatif stabil dan baik, sehingga di dalam film Valley of The Wolves Iraq tergambar jelas bahwa dari pihak Turki mengirimkan tim intelijennya, yakni Polat Alemdar, Abdulhey, dan temannya untuk membantu dan menyelesaikan masalah yang terjadi di Irak. Sebenarnya, aktor dibalik “kekacauan” yang terjadi di Irak adalah karena adanya intervensi dan hegemoni Amerika Serikat, sehingga kapten Suleyman pun mengirimkan tim khusunya tersebut (Polat Alemdar dan teman-temannya) untuk segera menuntaskan masalah yang terjadi atas konflik dalam film tersebut.

Bila melihat kejadian yang tergambar dalam film Valley of The Wolves Iraq, (2006: 00:01:09), kapten Suleyman menuliskan surat kepada Polat Alemdar, karena ia tidak tahan atas perlakuan Amerika Serikat atas masyarakat Irak dan pasukan Turki yang berjaga penuh di Irak, hingga ia harus bunuh diri, dan karena perlakuan yang tidak manusiawi itulah, akhirnya Polat Alemdar datang untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut.
Melihat kondisi politik Irak pasca invasi Irak, bahwa rakyat Irak mulai melakukan rekonstruksi untuk mengembalikan kondisi Irak seperti sebelumnya, terutama dalam rekonstruksi secara fisik dan membangun kembali sistem politik dan kenegearaannya. Oleh karena itu, Amerika Serikat mengambil peran dalam hal ini, yakni melalui Coalition Provisional Authority (CPA) yang diketuai oleh Bremer, pada 13 Juli 2003 memang sudah berhasil menciptakan sebua pemerintahan boneka yang diberi nama The Iraqi Interim Governing Council atau Dewan Pemerintahan Sementara Irak yang beranggotakan 25 tokoh Irak dari berbagai latar belakang etnis agama, yaitu 13 Muslim Syiah, 5 Muslim Sunni, 5 etnis Kurdi, 1 Kristen, dan 1 etnis Turkmen.

Jadi, dapat disimpulkan bahawa salah satu sebab konflik dalam film tersebut yakni mengenai stabilitas politik internal Irak yang masih kacau, mengingat pasca tumbangnya Saddam Hussein sebagai presiden Irak, pasca invasi Amerika Serikat yang mengalami kekosongan kepemimpinan pada masa itu. Sehingga kondisi tersebut menjadi kesempatan Amerika Serikat untuk leluasa menguasai Irak dengan membuat pemerintahan sementara yang merupakan buatan Amerika Serikat. Inilah liciknya Amerika Serikat untuk menguasai negara-negara Timur Tengah untuk melampiaskan kepentingan politiknya, yang sesungguhnya untuk merebut tanah Irak, karena di balik tanah Irak tersebut tersimpan harta berharga, yakni minyak.

Selain itu juga, upaya membangun demokrasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat tidak otoritatif, tidak melalui persetujuan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), akibatnya penguasaan Amerika Serikat dan kemudian pemerintahan hasil bentukannya menjadi tidak memilki legitimasi yang ditandai dengan kekerasan terus menerus. Invasi Amerika Serikat ke Irak bukannya membawa perdamaian dan kesejahteraan Irak, khususnya Timur Tengah pada umumnya, namun semakin meningkatkan terorisme dan radikalisme. Membuat stabilitas politik semakin terganggu, kekerasan semakin meningkat, dan jelas harapan akan terjadinya negara yang demokratis akan semakin jauh dari kenyataan.

3.2.2 Masalah Ekonomi Masyarakat Irak
Sesuai konflik dalam film Valley of The Wolves Iraq, ekonomi masyarakat Irak mengalami kekalutan, terutama dalam hal pangan, mereka harus disuplai oleh pihak lain (Amerika Serikat), ini bisa terlihat dari salah satu adegan dalam film “Valley of The Woves Iraq”, dimana Tuan Sam William Marshall membagikan kebutuhan pokok dan kebutuhan kesehatan yakni obat-obatan bagi masyarakat Irak, ini dapat dilihat jelas dalam adegan film Valley of The Wolves Iraq (2006: 01:15:43), yang menggambarkan peristiwa tersebut.

Dalam adegan tersebut tampak bagaimana masyarakat Irak sangat kekurangan bahan makanan akibat hancurnya infrastruktur mereka, invasi Amerika Serikat telah menempatkan masyarakat Irak dalam kemiskinan yang hebat, padahal negara tersebut sangat kaya akan sumber daya alam yaitu minyak. Ini juga dapat dibuktikan pada masa pemerintahan Saddam Hussein, dapat dikatakan kondisi ekonomi masih dianggap stabil, tetapi akaibat invasi Amerik Serikat membuat Irak semakin tercekam dan mengalami kondisi yang memprihatinkan.
Selain itu, Irak juga memiliki hutang luar negeri masing-masing sebesar US$ 4,3 milyar pad Jerman, US$ 1,7-1,8 milyar pada Prancis, dan US4 8 milyar pada Rusia. Sementara kerugian Rusia di Irak akibat invasi merika Serikat berkisar antara US$ 150 dan 180 juta, ini belum termasuk kehlangan penerimaan dari proyek-proyek di luar minyak. Hutang Irak dalam Paris Club diperkirakan US$ 127 milyar. Namun, jika ditambah dari Perang Teluk 1991, total uang Irak mencapai US$ 380 Milyar, dimana Jerman, Prancis, Rusia, menjadi negara donor utamanya.

Dari paparan diatas, sangatlah jelas bahwa masalah ekonomi masyarakat Irak juga merupakan penyebab konflik yang digambarkan dalam film Valley of The Wolves Iraq. Basis ekonomi inilah yang merupakan basis penting dalam rekonstruksi Irak untuk berbenah dan berproses mengembalikan negara itu untuk merdeka, dan tidak disetir serta dikuasai secara penuh oleh pihak Amerika Serikat. Meskipun masih ada campur tangan Amerika Serikat di dalam pembuatan pemerintahan sementara, karena Saddam Hussein yang merupakan penentang kebijakan dan salah satu negara yang kontra dengan Amerika Serilkat, telah ditumbangkan. Dan Amerika Serikat dapat lebih leluasa menguasai dan menyetir Irak dengan kekuasaan yang mereka miliki.

Memang jika kita melihat pasca invasi Amerika Serikat negara Irak megalami berbagai macam perubahan, baik perubahan sosial, ekonomi, dan politik sebagai akibat dari perang antara Amerika Serikat dengan Irak. Perubahan sosial yang muncul setelah tumbangnya rezim Saddam Hussein adalah terjadinya perubahan sosial yang drastis sehingga memperuncing ke arah perang saudara diantaranya rakyat Irak itu sendiri, antara para pendukung Saddam Hussein dan yang kontra terhadapnya, antara kelompok Sunni dan kelompok Syiah, maupun suku Kurdi yang merasa berhak terhadap pemerintahan Irak. Untuk kondisi ekonomi Irak pasca invasi Amerika Serikat, minyak menjadi masalah utama.

Oleh karena itu, Amerika Serikat pasca akan menagadakan cadangan minyak negeri menyadari Irak, dengan cara berusaha memasukkan perusahaan-perusahaan swasta miliknya di Irak, dengan cara berusaha memasukkan perusahaan-perusahaan swasta miliknya di Irak dalam program rekonstruksi infrastruktur minyak di Irak dan di bidang politik secara umum serangan Amerika Serikat yang bertujuan untuk menegakkan demokrasi di Irak telah berhasil menggulinkan rezim Saddam Hussein yang dianggaap otoriter oleh Amerika Serikat. Namun ketika pemilu berhasil dilaksanakan, legitimasi pemerintah hasil pemilu sangat rendah karena rakyat Irak menganggap pemeintahan hasil pemilu adalah pemerintahan “boneka” Amerika Serikat dan rakyat juga ragu terhadap kapabilitasnya. Legitimasi politik yang rendah tersebut dapat menyebabkan ketidakstabilitan politik yang ditandai dengan tingginya intnsitas kekerasan dan konflik yang terus terjadi karena penguasa gagal untuk menjalankan kekuasaan yang disebabkan oleh rakyat yang tidak mau menaati peraturan-peraturan yang ditetakan oleh penguasa. Oleh karena rakyat tidak taat, maka penguasa juga akan gagal mengendalikan konflik.

2.2. Bentuk-bentuk Hegemoni dalam Film Valley of The Wolves Iraq

2.2.1 Ideologi
Berdasarkan teori hegemoni yang diungkapkan oleh Gramsci, konsep ideologi merupakan salah satu bentuk hegemoni yang dilakukan sebagai wujud untuk menanamkan hegemoni kepada suatu kelompok. Inilah yang juga dapat dilihat dalam film Valley of The Wolves Iraq, yakni ada suatu ideologi yang dilakukan oleh kepada pihak masyarakat Irak, dimana ideologi besar yang dibawa oleh Amerika Serikat untuk menguasai Irak dan menjadikan Irak sebagai “boneka” atau anteknya.

Ideologi Amerika Serikat yang dimaksud disini yakni suatu cara-cara tertentu dengan tujuan penguasaan terutama untuk mencapai berbagai tujuan-tujuan kekuasaan negaranya. Kemudian, ideologi tersebut dimanifestasikan dalam setiap bentuk-bentuk yang dilancarkan oleh Amerika Serikat kepada masyarakat Irak. Tetapi, ideologi yang dibawa serta merta diterima oleh masyarakat Irak, tetapi ada suatu protes atas ideologi tersebut, hingga ideologi yang dipahami dalam pandangan Gramsci, tidak selalu dilihat bahwa ideologi sebagai produk hubungan kelas sosial yang dipelihara, dijalani dan dilegitimasi, dan dalam situasi koersif akibat kebutuhan ekonomi seperti apa yang dikemukakan oleh Marxisme.

Ideologi besar Amerika Serikat dalam pembahasan kali ini yakni ideologi kapitalisme, yang merupakan ideologi terbesar dunia yang mampu menghegemoni negara-negara di dunia untuk takluk dan menjadi negara bawahan dari negara kapitalis. Amerika Serikat mencoba mensukseskan dogma ideologi kapitalisme ini kepada Irak. Negara Amerika Serikat ingin menguasai dunia melalui tambang minyak yang dimiliki oleh Irak. Misi tersebut memang menjadi tujuan Amerika Serikat untuk menjadi negara hegemon dan super power yang tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun.

Bagi Gramsci, gagasan ideologis adalah tentang konsepsi tentang kekuatan manusia pada wilayah individualnya. Melalui ideologi tersebut individu dapat melakukan aksinya dalam berbagai bentuk sebagai manifestasi dari perjuangan merebut kekuasaan, sebagai titik tumpu historis yang bersifat psikologis, inilah yang merupakan salah satu bentuk hegemoni Amerika Serikat yang ada dalam film tersebut, sesuai apa yang dijelaskan ideologi dalam pandangan Gramsci, yang disebut dengan bentuk dari hegemoni.

Sebagaimana tergambar dalam film Valley of The Wolves Iraq, bahwa ideologi telah menjadi titik perhatian dalam analisa peneliti untuk mengetahui salah satu bentuk hegemoni yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Secara kronologis, dapat diketahui bahwa saat tentara Turki yang bertugas mengamankan Irak dan mengawasi negara penghasil minyak terbesar di wilayah Timur Tengah tersebut, tetapi kemudian diganggu oleh pihak Amerika Serikat, negara super power yang mempunyai misi terselubung, yakni untuk menguasai minyak di Irak, sebab bagi Amerika Serikat, minyak adalah salah satu kunci dan sumber utama dalam semua sektor negaranya, terutama dalam hal militernya.

Ini dapat dilihat secara jelas dalam film Valley of The Wolves Iraq (2006: 00: 01: 30), ketika para tentara Amerika Serikat menyerang pihak Turki yang sedang berjaga-jaga di wilayah Irak, saat itu kapten Suleyman dan 10 tentaranya sedang berjaga-jaga dan mengamankan Irak, tetapi tentara Amerika Serikat bersitegang dengan tentara Turki, hingga mereka pun menangkap tentara Turki tersebut, sangatlah jelas bahwa Amerika Serikat dengan ideologinya ingin menguasai Irak dan menjadikan Irak sebagai tanah yang dikuasainya, invasi yang dilakukan Amerika Serikat ini tentu akan berakibat panjang setelahnya, sesuai apa yang diinginkan oleh Amerika Serikat ingin menguasai Timur Tengah, terutama negara yang mempunyai gudang-gudang penghasil minyak, seperti Irak.
Tidak hanya itu, memang dari dulu Amerika Serikat sebagai salah satu negara super power yang ingin menguasai dunia. Ini juga yang menjadi misi besar Amerika Serikat, bahkan semua sektor di dunia ini telah dikuasai dan disetir oleh Amerika Serikat, karena kebanyakan orang Amerika Serikat adalah keturunan Yahudi, yang berusaha menguasai dunia, bahkan produk makanan, elektronik, dan sektor lainnya telah dikendalikan oleh para negara kapitalis (Amerika Serikat).

Ideologi tidak bisa dipahami terpisah dari konteks budaya, hubungan kekuasaan, dan pembentukan, transmisi dan interpretasi makna saja. Gagasan ideologi sebagai struktur kompleks memiliki potensi terhadap – dan hubungan yang erat dengan – kondisi sosial dan ekonomi dengan cara membangun dan menawarkan keuntungan terhadap pendekatan dominan. Di satu sisi, dampak gagasan atas kebijakan sering hanya dinyatakan secara tak langsung atau dikembangkan dengan kesan. Di sisi lain, gagasan-gagasan sering dibiarkan bebas mengambang, dilepaskan dari proses atau kebutuhan ekonomi atau sosial.

Dalam sejarahnya, kebijakan luar negeri Amerika telah bergejolak selama beberapa dekade terakhir ini. Mengikuti alir sejarah Perang Vietnam sampai kepada cara-cara Reagan menata kekuatan Amerika, para kritikus mengatakan bahwa karena dunia telah berubah, kebijakan Perang Dingin tidak lagi tepat dilakukan oleh Amerika Serikat. Mereka berpendapat bahwa transformasi kebijakan sangat diperlukan dan bahwa jika kebijakan luar negeri berubah menjadi signifikan dan tahan lama, maka kebijakan luar negeri harus dibarengi dengan pemikiran ulang premis kebijakan yang fundamental dan menyeluruh.

Pencarian ideologi politik luar negeri Amerika Serikat yang diinspirasi oleh pendekatan budaya akan membuat orang Amerika Serikat mencari seperangkat gagasan yang relatif koheren, bernilai secara emosional dan berkonsep. Gagasan kebijakan luar negeri ini akan harus merefleksikan kesan mengenai diri sendiri. Kemudian, cara untuk menemukan ideologi ini adalah dengan cara mengambil pandangan visioner atas perilaku dan nilai sekelompok orang yang kemudian memberi makna bagi kebijakan luar negeri yang dibangun oleh para elit. Para elit itu mencakup pembuat kebijakan dan peserta dalam dikusi dan debat kebijakan di acara-acara besar.
Terkait dengan konsensus yang menjadi dasar ideologi, menurut Louis Hartz (1955, 1), Amerika Serikat sudah liberal sejak lahir. Berbeda dengan Eropa, politik Amerika dibentuk oleh sejarah sosial dan politik yang khas, yang dicirikan dengan tidak adanya feodalisme dan dibentuk dengan keyakinan politik monolitik yang muncul dari sejarah koloni-koloni Amerika Serikat di masa lalu (Hartz 1991, 3). Koloni-koloni yang kemudian tumbuh menjadi negara baru tersebut memiliki cakupan doktrin yang mereka percaya berlaku universal mengenai hak kepemilikan pribadi, kapitalisme, pemerintahan yang terbatas dan hak-hak individual. Sejarah Amerika Serikat tidak mengalami pergolakan sosial yang keras berdasarkan kelas di negara-negara Eropa, misalnya Perancis, di akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19. Secara sosial, feodalisme adalah warisan Dunia Lama dan Amerika Serikat tidak pernah bisa menciptakan ruang politik untuk sosialisme, fasisme atau politik radikal lainnya. Dengan demikian, liberalisme di Amerika Serikat berbeda dengan liberalisme di Eropa karena penduduk
Amerika Serikat tidak pernah melalui pengalaman feodalisme dan aristokrasi turun temurun.

Hartz mempersepsikan warga negara Amerika Serikat sebagai warga yang hampir secara seragam berdedikasi untuk “kebebasan sosial atomistik”, sebuah doktrin yang melibatkan komitmen terhadap etika para individualis, kekurangsukaan terhadap kekuasaan negara, skeptisisme terhadap kaum elit sosial, dan perasaan bangga atas kesetaraan sosial (equality). Liberalisme bentuk inilah yang berkembang menjadi dogma dan berada di jantung identitas politik Amerika Serikat.

Liberalisme yang dipahami oleh Louis Hartz sendiri merupakan liberalisme yang kental akan paham Lockeanisme. Hartz berpendapat bahwa konsensus Amerika berakar dari gagasan filsuf Inggris John Locke (1632-1704). Menurut Locke, kesetaraan adalah alamiah bagi manusia karena semua manusia memiliki kepemilikan yang sama, yaitu tenaga kerja. Kebebasan lebih disukai ketimbang autoritarianisme karena pemerintahan terbaik adalah mereka yang memenangkan perjanjian dengan rakyat.

Tradisi berpikir seperti ini dikenal dengan nama tradisi “Kontrak Sosial.” Mengacu kepada pemikiran ini, individu merupakan unit pemegang kebebasan. Negara mendapatkan kekuasaan dari individu berdasarkan “kontrak” di mana individu-individu yang menjadi warga negara memberikan sedikit kebebasannya kepada negara untuk menjamin kebebasan seluruh individu dihargai dan diamankan. Hal ini juga berarti toleransi beragama di antara masyarakat merupakan gagasan bagus karena keimanan yang merupakan kemauan bebas akan lebih kuat dibandingkan keimanan yang dipaksa. Bagi Hartz, liberalisme Lockean telah membentuk cara hidup Amerika, yang menciptakan konsensus mengenai hak properti, mobilitas sosial, kebebasan individu dan demokrasi popular yang begitu kuat sehingga tak seorangpun bisa lepas darinya.
Menyoroti Perang Irak yang dilancarkan sejak tanggal 19 Maret 2003, Mayor Isaiah Wilson menilai bahwa perang ini sesungguhnya merupakan kepanjangan dari apa yang telah dimulai oleh Amerika Serikat sejak Perang Teluk 1991. Baginya, “Perang ini merupakan perang yang berpusat secara operasional kepada penghancuran angkatan bersenjata Irak – kapabilitas perang negara – sekaligus penghancuran aparat kenegaraaan Saddam Husein.”
Hal ini menunjukkan adanya semacam kontinuitas yang agak menjelaskan tentang apa yang melatarbelakangi bentuk kebijakan AS pada kasus Perang Irak ini. Sesuai dengan argumen utama penelitian kali ini, pada dasarnya kontinuitas ini terjadi pada level ideologi. Kontinuitas yang dimaksud dapat membantu memahami konsensus yang dibutuhkan dalam hal berlakunya suatu situasi “kompleksitas” yang harus disederhanakan untuk merumuskan suatu kebijakan.

Di dalam situasi kompleks terkait dengan persepsi ancaman terhadap terorisme dan situasi politik Timur Tengah yang kurang menentu, merupakan hal yang beralasan untuk menganggap bahwa kasus Perang Irak memiliki elemen ideologi yang cukup kuat. Menurut Michael Hunt, observasi terhadap ideologi memungkinkan kita untuk melihat balik kepada “akhir abad ke-18 dan abad ke-19 ketika elit-elit politik di Amerika bergerak ke arah konsensus atas berbagai isu mendasar yang berkenaan dengan urusan-urusan internasional.” Dalam kondisi demikian, pertanyaan yang penting adalah “bangsa seperti apa yang ingin (kita) tuju, bagaimana identitas (kita) dicerminkan dalam perilaku (kita) di tingkat internasional.”

Gelagat “penyederhanaan kompleksitas” seperti inilah yang sesungguhnya nampak dalam berbagai pertimbangan dan ungkapan-ungkapan yang dinyatakan oleh berbagai elit pembuat kebijakan pada masa-masa awal Perang Irak berlangsung. Menurut Ikenberry, serangan terhadap World Trade Center (WTC) dan Pentagon pada 11 September 2001 mengingatkan masyarakat Amerika Serikat akan serangan terhadap Pearl Harbour pada masa Perang Dunia Kedua. Serangan ini ternyata secara retorika membangkitkan penggunaan simbol-simbol yang menyertai grand strategy Amerika Serikat pada era Bush. Bagi Bush, “Irak yang terbebaskan (liberated) dapat menunjukkan kekuataan kebebasan (freedom) untuk mentransformasikan kawan yang penting tersebut (Timur Tengah), dengan jalan membawa harapan dan kemajuan kepada kehidupan jutaan orang di sana,” seperti yang diungkapkannya dalam diskusi di American Enterprise Institute (Dodge 2010, 1269). Menyertai ucapan tersebut adalah corak kebijakan Perang Irak dan pengubahan rezim yang bercirikan ketidaksukaan terhadap kekuasaan negara yang terlalu besar, andalan terhadap ekonomi pasar, kebebasan yang diwujudkan dengan pemilu dan demokrasi yang prosedural, serta kepercayaan yang berlebihan terhadap kapasitas individual.

2.2.2 Supremasi
Supremasi yang dibahas dalam pembahasan kali ini merupakan salah satu bentuk yang digunakan sebagai cara untuk menghegemoni, sebagaimana konsep yang dipaparkan oleh Gramsi dalam teori hegemoninya, bahwa supremasi merupakan suatu tujuan yang ingin dicapai oleh suatu aktor hegemon untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.
Supremasi pada dasarnya mengacu pada suatu kekuasaan yang diinginkan, sebagai wujud hegemoni yang dilakukan, baik menindas atau merebut kekuasaan dengan cara apapun, secara halus atau keras. Inilah yang perlu dicermati, bahwa supremasi adalah target yang ingin dicapai oleh negara hegemon untuk melancarkan hegemoninya. Supremasi merupakan kekuasan tertinggi yang sesungguhnya diinginkan untuk mencapai misi suatu negara hegemon.

Bila melihat dalam film Valley of The Wolves Iraq (2006: 01: 14: 30), tergambarkan bahwa Tuan Sam William Marshall ingin mencapai supremasi tertinggi yang menjadi harapan dan keinginannya untuk menguasai penuh Irak, karena ia ingin tanah Irak, merupakan tanah yang dijanjikan Tuhan (The Promise Land) untuk Amerika Serikat yang merupakan keturunan dari orang Yahudi, mereka ingin Irak sebagaimana dijelaskan dalam kitab umat Yahudi, menjadi daerah yang dijanjikan itu dan menjadi daerah kekuasaan Amerika Serikat. Sehingga, supremasi di pihak Amerika Serikat adalah sebuah harga yang pantas untuk negara hegemon atas kelas bawah (Irak), dengan adanya hal itu masyarakat dan negara Irak dapat dikuasai secara penuh, baik secara politis maupun ekonominya, yang dihasilkan dari produksi minyak Irak yang melimpah.

Supremasi yang dilakukan oleh kelas penguasa (Amerika Serikat) kepada kelas bahwah (Irak), sebenarnya menggunakaan cara dan strategi yang cenderung bersifat halus, dimana kekuasan itu ditanamkan dan diraih yang bersifat mutlak, tetapi pihak penguasa juga melakukan beberapa tindak kekerasan dan penyiksaan untuk menguasai dan mensuskeskan supremasi yang ingin dicapai tersebut.
Bahkan di dalam film Valley of The Wolves Iraq tergambarkan bagaimana Amerika Serikat dengan tiba-tiba tanpa melakukan konfirmasi dan pemberitahuan sebelumnya, menyergap dan menggeledah salah satu acara pernikahan di Irak, yang diduga disana ada terorisme, tetapi pada faktanya tidak terbukti.

Hingga konflik pun terjadi, setelah penggeledahan yang dilakukan oleh pihak tentara Amerika Serikat telah selesai, tiba-tiba terjadi tembakan yang diarahkan kepada anak kecil, yakni Hassan, anak dari keluarga yang sedang melakukan acara pesta pernikahan. Selanjutnya, pengunjung dan keluarga Hassan pun tidak terima atas perbuatan tersebut, sehingga pertikaian pun tidak dapat terhindarkan.
Memang supremasi yang dilakukan oleh pihak Amerika Serikat, sejatinya menimbulkan chaos (pertentangan), hingga pertikaian pun berdampak pada peristiwa-peristiwa selanjutnya seperti apa yang tergambar dalam film Valley of The Wolves Iraq tersebut.
Selain itu, ayah Hassan yang merasakan kesedihan mendalam atas anaknya, Hassan, melakukan balas dendam dengan melakukan bom bunuh diri di tempat dimana saat itu sedang berlangsung diskusi serius antara Tuan Sam Wllliam Marshall, pimpinan dari Suku Kurdi, perwakilan masyarakat Irak, tentara Amerika Serikat, dan salah satu pimpinan Turki yang berada di Irak agar kondisi Irak dapat dikendalikan. Mengingat pada saat itu, Irak mengalami kekalutan dan kekacauan politik, juga intervensi Amerika Serikat yang ikut campur dalam politik Irak.

Dengan mengumpulkan serta menganalisa data yang ada, terutama dalam film Valley of The Wolves Iraq tersebut, peneliti melihat bahwa invasi Amerika Serikat ke Irak didasari oleh keinginan Amerika Serikat untuk lebih mengukuhkan supremasi kekuasaannya sebagai satu-satunya super power yang tanpa tandingan di muka bumi ini dan kekuatan dunia lainnya yang potensial untuk menandingi serta mengalahkan kekuatannya terlebih dahulu akan dilemahkan atau dikalahkan sebelum benar-benar menjelma menjadi kekuatan yang besar. Kekuatan Islam dalam kacamata Barat adalah yang paling potensial untuk menyaingi bahkan mengalahkan supremasi Amerika Serikat tersebut.

Maka dengan dalih memberantas terorisme, menjaga perdamaian dunia, serta mengalahkan atau menumbangkan Partai Baath di bawah Saddam Hussein yang tiran, otoriter atau tidak demokratis, Amerika Serikat pun menginvasi Irak. Keberhasilan tentara Amerika Serikat untuk menaklukkan Saddam Hussein memberi keuntungan yang besar dari segi politik dan ekonomis bagi Amerika Serikat maupun Zionis Israel, karena akan memuluskan agenda besar mereka untuk menaklukkan dan menguasai dunia Arab maupun dunia.

Hal inilah yang mejadi titik penting sebab mengapa Amerika Serikat ikut campur dan mengintervensi Irak sedemikain besarnya, bahwa mereka ingin menunjukan supremasi tertinggi dalam kepemimpinan dunia internasional.

2.2.3 Dominasi
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Gramsci bahwa untuk dapat melancarkan hegemoni atau supremasi yang dilakukan, maka salah satu caranya yakni melalui dominasi. Melalui jalan dominasi ini maka dogma “hegemoni” akan tersalurkan pada kelompok yang menjadi objek hegemoni. Dominasi ada dua macam, yakni pertama, dominasi yang digunakan oleh suatu kelompok untuk melakukan supremasi atas kelompok lain secara ideoogis yang bersifat antagonistik dan kedua yakni pencapaian supremasi dengan cara kepemimpinan, berupa negoisasi dan kompromi.
Sebenarnya, dominasi yang dilakukan oleh subyek yang melakukan dominasi akan mengalami suatu konflik apabila objek dominasi tidak terima dan akan melakukan protes atas perlakuan dominasi yang dimaksud, yang dalam film Valley of The Wolves Iraq, subyek dominasi (Amerika Serikat), dan objek dominasi (masyarakat Irak), maka ini juga sesuai apa yang dipaparkan oleh Simon Fisher bahwa konflik mempunyai dua wajah, pertama, memberikan kontribusi terhadap integrasi ‘sistem’ sosial. Kedua, mengakibatkan terjadinya perubahan sosial.

Dari hal itu, terlihat sangat jelas bahwa Amerika Serikat mempunyai dominasi yang kuat, hingga ia melakukan cara apa saja untuk mensukseskan hegemoninya, tentang bagaimana hegemoni itu dapat menguasai Irak. Memang dalam kaitannya dengan dominasi, ada dua jenis dominasi yang digunakan, yakni melalui dominasi yang bersifat antagonis dan dominasi bersifat negosiasi.

Inilah yang digambarkan dan terekam jelas dalam film tersebut, dimana pihak Amerika Serikat yang berusaha menduduki tanah Irak, dan melakukan cara kekerasan untuk dapat melancarkan aksinya tersebut. Tetapi, tidak hanya itu, Amerika Serikat juga menggunakan cara lembut (bersifat kompromis dan negosiatif), yakni dengan melakukan pendekatan dan negosiasi dengan pihak pemimpin suku Kurdi dan beberapa perwakilan masyarakat Irak unuk mendapatkan perhatian dan hati mereka.

Sesungguhnya dalam mensukseskan hegemoni, diperlukan suatu penguasaan, penyiksaan ataupun penaklukan, baik secara politis atau secara kekerasan. Inilah yang menjadi titik tekan hegemoni untuk menguasai suatu negara atau kelompok yang ingin dikuasai. Melalui penguasaan, suatu kelompok tertentu akan mudah menguasai dan melegitimasi kehendaknya atas kelompok lainnya. Apa yang dikemukakan oleh Gramsci dalam tiga model yang ditulis dalam The Prison Notebooks, dia menjelaskan bahwa tidak satu pun dari ketiga model tersebut memuaskan dari sudut pandang politik. Model pertama, dalam pengertian kepemimpinan budaya dan moral, hegemoni dilihat sebagai diterapkan dalam masyarakat sipil. Sedangkan, dalam model kedua, hegemoni dilihat sebagai dijalanakan negara serta dalam masyarakat sipil. Selanjutnya, model ketiga tidak adanya pembedaan antara negara dan masyarakat sipil.

Ketiga model tersebut, berlaku dalam melakukan penguasaan atas kelompok yang dihegemoni, bila ketiga model Gramsci itu diterapkan dalam analisa penguasaan dalam film Valley of The Wolves Iraq. Seperti apa yang digambarkan dalam film tersebut, terdapat penguasaan, Pertama, pihak Amerika Serikat yang ditampilkan mempunyai cara untuk melakukan penguasaan kepada masyarakat Irak, melalui kepemimipinan budaya dan moral, sehingga masyarakat Irak mau tak mau harus berada dalam kekuasaan Irak, meski pada dasarnya Amerika Serikat mempunyai misi hanya ingin menumpas terorisme di Irak, tetapi kemudian rencana itu juga dibarengi atas penguasaan lainnya, termasuk menguasai tanah Irak secara keseluruhan, terutama minyaknya.

Kedua, hegemoni yang diterapkan dalam masyarakat sipil, ini dapat dilihat dalam film Valley of The Wolves Iraq, dimana disana tergambar jelas mengenai hegemoni yang dilancarkan oleh Amerika Serikat melalui Tuan Sam William Marshall, lalu didogmakan kepada masyarakat sipil, yakni para suku Kurdi dan masyarakat Irak. Maka, didapat bahwa ada intrik politik dan penguasaan secara moral untuk mengambil hati dan menguasai masyarakat Irak, dengan berbagai cara yang pada akhirnya merebut kekuasaan dan menguasai Irak.
Selain itu, juga digambarkan adanya adegan penyiksaan kepada tawanan Amerika Serikat yang dianggap terorisme di penjara Abu Ghraib, ini dapat dilihat dalam adegan film Valley of The Wolves Iraq, (2006: 00: 41: 15-00: 42: 04). Disana para tawanan disiksa oleh tentara Amerika Serikat dengan penyiksaan yang tidak senonoh dan tidak maanusiawi.

Kemudian penyiksaan dilanjutkan kembali pada adegan berikutnya, (Valley of The Wolves Iraq, 2006: 00: 44: 30). Para tawanan disuruh telanjang dan mereka disemprot dengan air oleh tentara Amerika Serikat, hingga mereka pun merasa tersiksa dan tidak tahan atas perlakuan tersebut. Kondisi inilah yang seharusnya menjadi titik perhatian peneliti dalam penelitian kali ini.

Mengenai keadaan tawanaan perang di penjara Abu Ghraib, pada tahun 2004, seluruh warga dunia terhenyak. Media massa, baik radio, koran maupun televisi, mempertontonkan sebuah tindakan bejat, amoral, dan jahat di penjara bawah tanah yan terletak di dekat kota Baghdad, Irak. Nama penjara bahwah tanah itu adalah Abu Ghraib.
Penjara Abu Ghraib adalah sebuah penjara yang terletak 20 mil di sebelah barat Baghdad, Irak. Pada masa pemerintahan Saddam Hussein, penjara ini dijadikan sebagai tempat terjadinya penyiksaan para tawanan dan para pembangkang pemerintah. Akan tetapi, pada bulan Oktober 2002, entah dengan alasan apa, Saddam Hussein mengumumkan amnesti umum guna membebaskan seluruh tawanan yang masih tersisa di penjara Abu Ghraib. Selepas membebaskan semua tawanan, Saddam menerapkan kebijakan yang lain, yaitu menutup penjara Abu Ghraib.
Keadaan inilah yang menjadi salah satu bentuk cara untuk menyebarkan hegemoni, yang dibahas dalam pembahasan ini yakni adanya penyiksaan yang dilakukan oleh para tentara Amerika Serikat kepada tawanan terorisme di Irak dan disinilah ditayangkan bentuk-bentuk penyiksaan, sebagaimana apa yang dijelaskan oleh Antonio Gramsci dalam teorinya tentang hegemoni, terutama dalam haluntuk melaksanakan hegemoni yakni dengan melakuakn penyiksaan. Disitu sangat jelas sekali tentang penggambaran para tawanan Irak yang ditangkap sebab dituduh sebagai terorisme yang kemudian disiksa secara tidak manusiawi, disuruh telanjang dan disiram air oleh tentara Amerika Serikat.

Sesuai apa yang dijelaskan diatas, dapat diketahui bahwa sebenarnya hegemoni adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya denga cara kekerasan dan persuasi. Dalam catatannya terhadap karya Machiavelli, The Prince (Sang Penguasa), Gramsci menggunakan centaur mitologi Yunani, yaitu setengah binatang dan setengah manusia, sebagai simbol ‘perspektif ganda’ suatu tindakan politik, kekuatan dan konsensus, otoritas dan hegemoni, kekerasan dan kesopanan. Jadi secara garis besar dapat diketahui bahwa untuk melakukan hegemoni dibutuhkan bentuk kekerasan atau persuasi, dengan cara ini hegemoni dapat disalurkan kepada kelas bawah (kelas subordinasi), yang dalam film Valley of The Wolves Iraq digambarkan oleh rakyat Irak dan terwakilkan oleh mereka yang ditangkap dan disiksa secara kejam di penjara Abu Ghraib.

Lebih jauh lagi, Gramsci juga mengenalkan konsep negara integral, yang dimaksud Negara integral yakni masyarakat politik dan masyarakat sipil. Maka dari hal itu, dapat disimpulkan bahwa negara integral memiliki dua aspek. Pertama, alat-alat kekerasan (menas of coercion). Kedua, alat penegakan kepemimpinan hegemonis (means of establishing hegemonic leadership) seperti pendidikan, agama, media, penerbitan dan lain-lain. Alat-alat kekerasan trdiri dari alat-alat paksa dan represi negara sementara ‘alat pendirian kepemimpinan hegemonis’ merujuk pada institusi dalam formasi sosial yang bukan bagian dalam proses produksi ekonomi material bukan menjadi bagian dari organisasi negara.

2.2.4 Kepemimpinan Moral dan Intelektual
Sesuai apa yang disebutkan oleh Gramsci bahwa untuk dapat menyebarkan dan mensukseskan hegemoni, diperlukan cara yang bersifat kompromis dan negosiasi dan konsep ini disebut dengan kepemimpinan moral dan intelektual.
Selanjutnya menurut Gramsci ada dua syarat yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan eksistensi kelas hegemonik, yaitu hegemoni tidak berarti memaksakan ideologi kelas tertentu sebagaimana dipahami oleh masyarakat pada umumnya dan sistem ideologi tidak terbentuk secara serta merta, proses kelahirannya tergantung dari pola-pola hubungan kekuatan selama terjadi aliansi. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa kelas dominan mencapai dominasi, yaitu apabila pandangan dunia kelompok telah diadopsi dan meliputi seluruh masyarakat.

Sebagaimana digambarkan dalam film Valley of The Wolves Iraq, bahwa Amerika Serikat tidak serta merta langsung melakukan penguasaan atau penyiksaan secara langsung, tetapi lebih menggunakan cara yang lembut, tidak memaksa. Tetapi pada hakikatnya, mereka menggunakan kepemimpinan secara moral dan itelektual, untuk mengelabuhi dan mengecoh kelompok yang akan dikuasainya, sehingga konsep kepemimpinan moral adan intektual, didominasi dengan cara kompromis dan negosiasi.
Ini juga dapat terlihat dalam adegan film Valley of The Wolves Iraq ketika Tuan Sam William Marshall melakukan perundingan untuk membahas bagimana agar rakyat Irak tidak mengalami shock, tidak melakukan protes, dan hal inilah yang dilakukan Tuan Sam William Marshall (sebagai perwakilan dari tentara Amerika Serikat) dengan melakukan diskusi dan bernegosiasi dengan para tetinggi Irak, masyarakat Irak, perwakilan warga Turki, dan pimpinan suku Kurdi. Sehingga nantinya, Amerika Serikat dianggap sebagai “pahlawan” dan penengah yang berusaha menyelesaikan permasalahan di Irak, yang sebenarnya misi terbesarnya adalah menguasai minyak Irak.
Sebenarnya konsep kepemimpinan moral dan intelektual juga dijelaskan secara jelas oleh Antonio Gramsci dalam teori hegemoninya, yang pada hakikatnya melalui kepemimpinan moral dan intelektual inilah suatu hegemoni dapat disebarkan dengan nyata dalam menempatkan kekuasaan dan menguasai daerah atau kelompok yang akan dihegemoni. Cara ini dianggap sebagai cara yang bersifat lembut dan tidak menimbulkan konflik serta menyebabkan perseteruan yang berarti, tetapi pada dasarnya akan menimbulkan berbagai dampak yang serius oleh kelas bawah atau kelompok yang ingin dikuasai.

Konsep kepemimpinan moral dan intelektual sebenarnya digambarkan secara implisit dalam film Valley of The Wolves Iraq, meski demikian proses penguasaan baik secara moral ataupun intelektual, dapat ditangkap dengan baik dan jelas bahwas untuk melegitimasi kaum proletar atau yang diamksud dalam film tersebut yakni masyarakat Irak pada umumnya dan khususnya oemerintah Irak pada masa iu yang dipimpin oleh Saddam Hussein. Memang, secara jelas ada persekongkolan politik yang terjadi diantara Amerika Serikat yang diwakili oleh Tuan Sam William Marshall dengan organisasi kepemimpinan sementara bentukan Amerika Serikat yang merupakan alat Amerika Serikat sebagai negara hegemon untuk menguasai Irak.

Memang secara teoritis, Gramsci juga mengklasifikasikan tentang suatu totalitas dalam hegemoni dapat didukung pada dua cara, yakni kepemimpinan (direction) dan dominasi (dominance). Kedua adalah melalui kepemimpinan moral dan intekatual. Konsep inilah yang menjadi faktor untuk melegalitaskan proses hegemoni, yang dalam pembahasan ini terkait pada kepemimpinan moral dan intelektual yang merupakan cara terakhir yang kemudian oleh Gramsci disebut dnegan hegemoni.

Dari pembahasan diatas, sangatlah jelas bahwa konsep kepemimpinan intelektual dan moral merupakan cara yang palig mutakhir digunakan untuk mencapai titik konklusi dari sebuah proses hegemoni, dengan demikian dapat dikatakan pada dasarnya setiap proses legitimasi hegemoni, kepemimpinan intelektual dan moral adalah sebuah hal mutlak yang tidak dapat dipisahkan dalam teori hegemoni Gramsci.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Sebagaimana apa yang dijelaskan dalam pembahasan dalam penelitian kali ini, yakni tentang bagaimana keadaan Irak di bawah kekuasan Amerika Serikat atas hegemoni yang dilakukan oleh Amerika Serikat kepada Irak merupakan suatu cara untuk menguasai Irak, dengan cara itu maka Amerika Serikat dapat mudah dan leluasa untuk menguasai wilayah Irak, terutama minyaknya. Meski Amerika Serikat berdalih ingin menumpas terorisme di Irak yang berusaha protes pada negara super power tersebut. Selain itu, Amerika Serikat Serikat sebenarnya berusaha melancarkan dan melakukan usaha apa saja untuk menguasai tanah Irak dan mendapatkan minyak dari negara penghasil minyak tebesar di kawasan Timur Tengah itu. Hegemoni dan intervensi Amerika Serikat Serikat merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya konflik dalam film yang peneliti kaji dalam penelitian ini.
Selain itu, konflik yang terjadi dalam film Valley of The Wolves Iraq yakni juga disebabkan konflik yang terjadi di kawasan Timur Tengah. Sebagaimana diketahui bahwasanya kawasan Timur Tengah menjadi titik sentral perhatian dunia internasional, terutama sebagai gudang penghasil minyak dunia dan letak geografisnya yang sangat strategis, berada di persimpangan tiga benua besar, Afrika, Asia dan Eropa. Hingga Amerika Serikat dan negara-negara adidaya lainnya berupaya ingin menguasai kawasan Timur Tengah, terutama negara Irak yang merupakan negera penghasil minyak terbesr kedua di dunia.

Selain disebabkan faktor eksternal, terjadinya konflik juga karena stabilitas politik internal Irak yang kacau. Karena Irak kehilangan pemimpin negaranya, Saddam Husein. Sebab internal lain, terkait konflik yang terjadi dalam film Valley of The Wolves Iraq, yakni merosotnya ekonomi Irak. Merosotnya ekonomi Irak diantaranya karena sulitnya mendapatkan pekerjaan, kemiskinan, pengangguran, sulitnya lapangan pekerjaan, biaya pernikahan yang tinggi dan naiknya harga-harga yang berdampak pada sektor-sektor kehidupan lainnya.
Dari penelitian diatas, ada beberapa bentuk-bentuk hegemoni yang dapat dilihat dalam film tersebut, yakni adanya suatu ideologi, dominasi, supremasi, dan penguasaan atau penyiksaan, serta kepemimpinan moral dan intelektual yang dilakukan oleh Amerika Serikat Serikat kepada masyarakat Irak, yang dalam hal ini sangat menarik dikaji dan dianalisa dengan menggunakan teori hegemoni Antonio Gramsci dan konflik sosial. Sehingga, kajian hegemoni dan konflik yang digambarkan dalam film Valley of The Wolves Iraq, dapat diketahui dan didapat secara jelas menggunakan analisis tersebut.

4.2 Saran
Penelitian ini adalah penelitian sosiologi sastra, dengan menggunakan teori hegemoni Antonio Gramsci, artinya penelitian ini menganalisa dan mengkaji secara mendalam berkaitan dengan konsep hegemoni yang digunakan sebagai alat (teori) untuk menganalisa objek yang dikaji. Dalam penelitian ini obyek utama peneliti adalah film Valley of The Wolves Iraq. Peneliti melihat bahwa penelitian ini jauh dari kata ideal, sehingga peneliti menginginkan ada peneliti-peneliti lain yang mengembangkan penelitian tentang kajian hegemoni dan konflik sosial secara intensif, mengingat hegemoni dan konflik yang kaitannya dalam sastra juga merupakan pembahasan yang sangat menarik dan patut dikaji secara mendalam untuk mendapatkan pengetahuan dan permasalahannya secara komprehensif. Sehingga, dapat dijadikan referensi bagi para peneliti untuk mengkaji tentang penelitian yang berkaitan dengan kajian tersebut.

Daftar Pustaka

Affandi, Hakimul Ikhwan. Akar Konflik Sepanjang Zaman: Elaborasi Pemikiran Ibn Khaldun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Agastya, M. Arab Spring: Badai Revolusi Timur Tengah yang Penuh Darah. Yogyakarta: IRCiSoD, 2013.
Anaz, Necati dan Darren Purcell. Geopolitics of Film: Valley of The Wolves Iraq and Its Reception in Turkey and Beyond. The Arab World Geographer. Vol 13, No. 1, 2010.
Anwar, Ahyar. Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Ombak, 2010.
Bocock, Robert. Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni. Yogyakarta: Jalasutra, 2007.
Burdah, Ibnu. Konflik Timur Tengah: Aktor, Isu dan Dimensi Konflik. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008.
Coser, Lewis. The Function of Social Conflict. New Year: Free Press, 1956.
Dewi, Wulansari. Sosiologi Konsep dan Teori. Bandung: Refika Aditama, 2009.
Dipoyudo, Kirdi. Timur Tengah Pusaran Strategis Dunia. Jakarta: Centre For Strategic and International Studies, 1981.
Eagleton, Terry. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra, 2006.
Endraswara, Suwardi. Metode Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Center for Academic Publishig Service (CAPS), 2003.
———. Bahan Kuliah Sosologi Sastra. Yogyakarta: FBS UNY, 2011.
———. Sosiologi Sastra: Studi, Teori dan Interpretasi. Yogyakarta: Ombak, 2013.
Faruk. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
———. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Fauzi, Ahmad. Propaganda Turki Terhadap Israel (Studi Kasus Film Valley of The Wolves: Palestine), 2011.
Gramsci, Antonio. The Prison Notebooks: Catatan-catatan dari Penjara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
———. Gramsci, Antonio. Selections From The Prison Notebooks, Quintin Hoare dan Nowell Smith (ed.), New York: International Publisher, 1976.
Hendricks, William. Bagaimana Mengelola Konflik: Petunjuk Praktis untuk Manajemen Konflik yang Efektif. Jakarta: Bumi Aksara, 2012.
Hoare, Quintin dan Geoffrey Nowell Smith (terj). Sejarah dan Budaya. Surabaya: Pustaka Promethea, 2000.
Isawati. Sejarah Timur Tengah (Sejarah Asia Barat) Jilid 1: Dari Peradaban Kuno sampai Krisis Teluk I. Yogyakarta: Ombak, 2012.
Kurniawan, Heru. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.
Lenczowski, George (terj). Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1993.
Manshur, Fadlil Munawwar. Perkembangan Sastra Arab dan Teori Sastra Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Mardalis. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Nasikun, Muhtar Masoed. Sosiologi Politik. Yogyakarta. PAU UGM, 1995.
Noor, Yusliani. Sejarah Timur Tengah (Asia Barat Daya). Yogyakarta: Ombak, 2014.
Patria, Nezar dan Andi Arief. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Pranowo, Lilih Prilian Ari. The Rape of Iraq. Yogyakarta: Narasi, 2010.
Ratna, Nyoman Kutha. Antropologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
———. Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
———. Pengantar Sosiologi Sastra: Dari Strukturalisme Genetik sampaiPost-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
———. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
———. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Selden, Raman.. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993.
Setiawati, Siti Mutiah. . Irak Di Bawah Kekuasan Amerika: Dampaknya Bagi Stabilitas Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat Indonesia). Pusat Pengkajian Timur Tengah (PPMTT) Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, 2004.
Sihbudi, Riza. Menyandera Timur Tengah. Jakarta: Mizan, 2007.
Simon, Roger. Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Straus, Anselm dan Juliet Corbin. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Suwandono dan Sidiq Ahmadi. Resolusi Konflik di Dunia Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011.
Wirawan. Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta: Salemba Humanika, 2013.
Wiyatmi. Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Kanwa Publisher, 2013.
http: //news.bbc.co.uk/2/shared/spl/hi/pop-us/04/world_the_world0s_oil/htm/3.stm
http: //cssdiaraku.wordpress.com/2010/03/minyak-dam-as/
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/internasional/11/01/25/160470-presiden-mesir-jangan-coba-coba-tiru-gaya-protes-tunisia

Tinggalkan komentar